Selasa, 13 September 2011

THE RADICKAL (dua)

Aku memutuskan untuk berhenti di shelter berikutnya, dan kembali ke shelter dideket Gramedia tadi. Aku harus memastikan apa yang aku lihat sebelumnya. Apa benar itu Arian? Apa yang dia lakukan disini? Bukankah dia seharusnya masuk kuliah? Aku gak mau mati penasaran seperti difilm-film horor murahan Indonesia. Aku harus memutar balik arah tujuanku.

Harus.

Aku ambil HP ku dari saku celana, dan mencoba menghubungi nomer HP Arian yang sudah tersimpan sejak dia punya HP pertama kali waktu SMP kelas 3 dulu. Aku menelponnya dengan maksud menanyakan apakah benar dia ada di Jogja hari ini. Namun yang mengangkat teleponku seoarang wanita yang absurd, dengan mengatakan "maaf, pulsa anda tidak cukup untuk melakukan panggilan ini." Aku lupa isi pulsa. Salahku karna terlalu memanjakan Arkha dengan melayaninya taruhan setiap maen PS.

Aku turun di Shelter. Dan menunggu bus 3 ribu senang yang mengarah keshelter deket Gramedia. Sambil harap-harap cemas Arian masih ada ditempat yang sama.

Begitu bus tiba, aku bergegas masuk dengan paksa, melanggar aturan "utamakan penumpang yang turun terlebih dahulu." Semua penumpang melihat kearahku sambil mengumpat dengan bahasa Jawa. Aku mengabaikan mereka, karena aku masih gak faseh dalam berbahasa Jawa.

Pak sopir melanjutkan perjalanan dengan mengangkut 4 penumpang dari shelter plus 1 penumpang indisipliner.

Jarak dari shelter aku berhenti ke shelter tempat aku berangkat tidak terlalu jauh, cuma karna busnya harus memutar arah, jadi kelihatan lebih jauh, jarak tempuh kalau saja pak sopir berani mengambil arah yang berlawanan paling sekitar 10 menit. 

Sikapku waktu latihan datang lebih awal, dan pulang paling akhir gak berlaku dalam bus. Aku turun paling pertama, setelah sebelumnya naik paling pertama-juga.

Mataku memburu setiap penumpang yang ada di shelter berharap masih ada Arian disana. Tapi bukan sosok Arian yang ku dapat, melainkan Anggita yang sudah selesai belanja buku.

Gita kaget melihatku yang turun dari bus 3 ribu senang itu.
"Loh, kamu kenapa kesini lagi, Dicka? Ini kan udah pukul 4.30? Kamu bolos latihan?"

"Anu, aku tadi ngeliat kayak ada temenku disni, makanya aku balik lagi."

"Siapa? Arkha?"

"Bukan, temen SMA ku dulu waktu di Jakarta, Arian. Boleh ku pinjam HP mu untuk nelpon, Gita?"

"Kamu gak ada pulsa?"
"Ada, tapi pulsa SMS gak bisa dipake untuk nelpon."

"Cacing kamu terlalu kamu manjakan, Dicka, ini pakailah sesukamu, aku baru isi pulsa tadi malam."

Aku mengambil HP Gita, dan mencontek nomer Arian dari HPku, lalu menelponnya. Nada sambung yang terdengar seperti detak jantung manusia yang lemah mulai terdengar. Angkat Arian, angkat telponnya.

"Halo." Suara Arian yang mengangkat telponku.

"Halo, Arian, ini gue, Dicka."

"Oh, Dicka baru gue mau telpon lo, gue lagi ada di Jogja hari ini. Bisa ketemuan? Kostan lo dimana?"

"Seperti dugaan gue, orang yang tadi gue liat itu emang bener lo, gue ada latihan hari ini, kalo mau kekostan malem aja gimana? Kostan gue gak jauh dari shelter Condong Catur. Nanti lo SMS aja kenomer gue, gue jemput di Shelter."

"Oke, sampai nanti, Dicka."

Telpon dimatikan.

"Bener temen kamu ada disini?" Tanya Gita.

"Iya, dia partnerku waktu aku masih main bola di Jakarta, ini HPmu. Terima kasih ya." jawabku sambil menyerahkan HP Gita.

"Yang sering kamu ceritain itu?"

"Iya, partner terhebatku dalam mengejar mimpi yang seharusnya terwujud."

"Busnya dateng, ayo naik, aku mau liat kamu latihan hari ini, Dicka."

Gita ikut aku latihan, ini yang pertama kalinya, biasanya dia datang cuma saat aku bertanding. Tapi katanya dia lagi senggang jadi ikut aku latihan sekedar untuk membunuh waktu, supaya gak suntuk dikamar kostan sendirian karna Dian - temen satu kamarnya lagi pulang ke Jakarta. 

Hari ini merupakan kali pertamanya juga aku datang telat saat latihan. Aku datang saat rekan-rekan satu tim ku berlari kecil keliling lapangan untuk pemanasan. Pelatih menghampiriku yang lagi sibuk memakai sepatu bola.

"Tumben kamu dateng telat, Dicka, pacaran dulu?" sambil melihat kearah Gita.

"Maaf pak, tadi ada perlu, ketemu temen lama."

"Yasudah, cepat kamu susul teman-temanmu pemanasan ya, hari ini kita ada latihan 5 lawan 5."

"Baik pak!"

Gita duduk di bangku pinggir lapangan sambil membaca salah satu novel yang baru saja dia beli tadi di Gramedia. Oiya, dandanan Gita hari ini sangat cantik, memakai kaos biru yang hampir ngetat, dan memakai celana jeans ketat berwarna hitam. Sesekali dia melihat kearah kami yang latihan sambil senyum tipis.

"Heh, kemana lu, udah gue SMS latian jam 4 juga, jam 5 baru dateng, tumben amat. Kencan lu?" Tanya Arkha yang berlari disampingku.

"Enggak, gue emang ada perlu, tapi gue anter Gita juga sih tadi ke Gramed, sebentar itu juga."

"Duitnya lu bawa gak?"

"Bawa, bawel !"

Arkha tersenyum puas, lalu menambah kecepatan larinya dan meninggalkanku.

Setelah selesai 7 kali keliling lapangan, kami semua berkumpul dipinggir lapangan. Untuk mendengarkan instruksi berikutnya dari pelatih.

"Baiklah, hari ini kita lakukan latihan 5 lawa 5 dengan aturan one touch pass. Untuk tim pertama, Radickal, Radix, Dicka, Arkha, Lucky, dan kiper Ji."

Yosh ! Aku dapet tim yang bagus, kami berlima sudah terbiasa satu tim waktu ada latihan 5 lawan 5. Kami memang mempunyai skill yang diatas rata-rata diantara beberapa pemain dalam tim ini. Kami juga langganan masuk tim inti, cuma cidera yang menghalangi kami tampil, ketika kondisi kami fit 100%, kami yang terbaik.

Tim kedua, yang jadi lawan kami  adalah Firman, Agung, Gatot, Fajar, dan kiper cadangan kami, Bagas. 
Pertandingan 5 lawan 5 pun dimulai, seperti biasanya, kami melakukan passing yang jauh lebih baik, dengan sedikit tipuan-tipuan yang mengecohkan lawan. Kami biasa menyebutnya dengan Tricky Taka. Arkha mengoper bola kepadaku, aku hanya menahan barang 2 detik, dan passing lagi ke Radix, Radix melakukan umpan terobosan langsung dan tajam kearah gawang Bagas, Arkha berlari secepat mungkin untuk mengejar bola. Dengan kecepatan yang dia miliki, bola sekencang, dan setajam apapun akan terlihat mudah untuk dijangkau. Arkha adalah Speed Demon di tim kami. Bola didapat Arkha, dia setengah melompat untuk menghindari tackling Firman, sebelum melepaskan tembakan ketika mendarat dengan apik.

Goal!

Tim kami unggul cepat hanya dengan 2 operan dan 1 umpan terobosan. Gita bertepuk tangan dari sisi lapangan. Pelatih tersenyum puas melihat performa Radickal hari ini.

Firman menguasai bola, lalu mengoper kepada Fajar, dan Fajar melakukan shooting dari jarak yang sangat jauh. Jika Arkha adalah Speed Demon di tim kami, maka Fajar adalah Goal Killer, tendangannya keras, terarah, dan cepat. 

Tendangannya berhasil ditepis oleh Ji. Kiper kami. Aku kaget Ji berani melakukanya, tendanganya pasti sangat menyakitkan untuk tangan sekurus Ji. Aku melihat tangan kanan - yang digunakan untuk menepis bola keras tadi - agak gemetar. Lucky menguasai bola, dan langsung mengoper kearahku, aku tahan sebentar, lalu mengoper kepada Arkha, Arkha mengoper kepada Radix, lalu berlari kemulut gawang. Radix menahan bola dan alih-alih mengoper kepadaku, bukan kearah Arkha. Radix sudah memperhitungkan semuanya, dia sudah berfikir kalau tim Firman cs sudah membaca arah pola serangan kami yang monoton. Arkha gak akan cetak goal kali ini, aku yang akan beraksi. Firman yang terlebih dahulu mengira bola akan diberikan ke Arkha memutar balik langkahnya dan berlari menuju kearahku. Aku mengoper bola kearah Lucky dibelakangku dengan tumit, kemudian berlari menyusul Arkha. 

Agung mengawalku, Lucky memberikan bola kepada kiper, Ji. Lalu Ji melambungkan bola kearah Arkha, Arkha menahan bola dengan dada, kemudian mengoper kepadaku yang berlari disampingnya, namun operannya berhasil dipotong oleh Gatot. Gatot berikan bola kepada Fajar. Radix berlari mengawal Fajar. Namun telat, Fajar terlebih dahulu melambungkan bola kearah Firman yang berada dimulut gawang tim kami. Firman melepaskan tembakan mendatar dengan deras, dan gagal dihalau Ji yang sudah menjatuhkan dirinya.

Kedudukan berimbang 1-1.

Walau Passing Radickal lebih bagus, namun permainan dan fisik anggota tim lain juga gak kalah bagus. Itu yang membuat kami mampu berbicara banyak waktu menjadi juara Tiga se-Jogjakarta kemarin.
Bola dikuasai Radickal, aku dan Radix saling mengoper, walau berdiri ditempat. Radix mengoper bola kepadaku, aku mengembalikannya lagi ketika Firman dan Fajar berlari merebut, begitu seterusnya, kami menghitung jumlah operan kami berdua, ketika hitungan sepuluh, dan bola berada dikakiku, aku langsung kirim umpan lambung dari tengah kepada Arkha yang berlari mirip orang kesetanan. Dengan cepat Arkha menerima umpanku, lalu menceploskan ke gawang Bagas untuk kedua kalinya. Itulah yang kami maksud Tricky Taka.

Pertandingan berakhir, dengan kemenangan Radickal 2-1.

Aku berjalan kepinggir lapangan menuju Gita yang daritadi menyaksikan kami latihan. Gita menyerahkan botol Aqua 1 liter untukku. Aku meminumnya sambil duduk Ngaso. Latihan 5 lawan 5 adalah latihan paling melelahkan. Arkha menghampiri kami berdua. Sementara pelatih sedang mengutus 10 nama berikutnya yang akan bertanding.

"Bagi dong aernya." Pinta Arkha.

Aku mengabulkan permintaannya tanpa sepatah kata.

"Gimana gol gue tadi, Gita?" Tanya Arkha sesaat sebelum meneguk air.

"Mmmm, lumayan, lari lo kenceng juga yah, kribo. Tapi gol terakhir kan dari opera si Dicka yang pas."

"Ah, lo mah Dicka mulu yang diliatin, eh Dian kemana? Kenapa gak lo ajak nonton?"

"Dian pulang keJakarta dari kemaren kan, tadi juga gak masuk kelas. Sama kayak kalian berdua."

"Wah, kapan-kapan ajak dia dong, pasti latian gue semangat deh."

"Iya, kapan-kapan yaa."

Aku masih terduduk sambil menselonjorkan kaki-kaki ku yang berkerja keras seperti biasanya. Sambil melihat tim selanjutnya bertanding. Mereka rata-rata pemain cadangan, namun gak kalah bagus, dengan tim utama. Ji dan Bagas main lagi dipertandingan kali ini, karna mereka berdua kiper. Ji melakukan penyelamatan gemilang, gak salah nomer punggung 1 menjadi miliknya, sementara Bagas, juga lumayan, hanya 1 tingkat di bawah Ji. Tidak seperti biasanya, aku gak bersemangat sekali latihan hari ini, mungkin aku ingin buru-buru pulang dan bertemu partner terhebatku dulu, Arian.

Arkha menjadi tandemku saat ini, dia cepat, tapi tidak sekomplit Arian. Arkha menjadi Top Scorer pada Turnamen se-Jogjakarta berkat Assist dariku dan Radix. bahkan Fajar yang notabene Striker murni dan punya fisik yang jauh lebih Atletis dan mempunyai tendangan paling keras se-Turnamen hanya mampu berada diperingkat ketiga daftar Top Scorer.

Aku menjadi Pemain tengah bersama Radix, dulu posisiku adalah Striker bersama Arian. Kami selalu mencetak goal setiap pertandingan. Dia tandem terhebatku sampai saat ini. Dan yang paling penting, dia ada disini sekarang, aku belum pernah bertemu dengannya lagi semenjak Arian pindah klub, dan aku kuliah di Jogjakarta. 

Aku ingin buru-buru menyelesaikan latihan hari ini rasanya.

"Oiya, menurut lo gimana sama tendangan si Fajar tadi, Dick?" Tanya Arkha kepadaku.

"Itu tendangan edan, kenapa si Ji nepis tendangan Fajar ya?"

"Simple, Ji orang yang total walau lagi latihan."

"Iya juga sih, tapi tetep aja, kalo terlalu memaksakan bisa cidera, apalagi turnamen sebentar lagi."

"Entah apa yang ada dipikiran Ji." 

"Hari ini kamu jadi jemput Arian, Dicka?" Tanya Gita.

"Iya, jadi kok, Gita."

"Arian? Temen satu tim lo dulu waktu SMA yang sering lo ceritain itu?"

"Iya, dia ada disini hari ini."

"Ngapain?"

"Gue gak tau, dan kayaknya gue pamit duluan deh latihan kali ini." Kataku sambil bangkit dari duduk dan berjalan kearah pelatih.

Sambil setengah berbisik aku mengatakan alasanku kepada pelatih, pelatih terdiam sebentar sebelum mengizinkanku angkat kaki lebih dulu untuk latihan kali ini. Sikapku yang gak pernah neko-neko selama latihan mempermudah langkahku untuk meminta izin.

Aku pergi mandi. Setelah selesai, aku mengajak Gita pulang bersamaku. Aku antar dia terlebih dahulu kekostannya walau dia sempat menolak, dan ingin bertemu dengan Arian. Tapi aku mengatakan kalau aku hanya ingin bertemu 4 mata dulu, baru besok aku kenalkan dia kepada Arian. Lagipula sudah malam, dengan cemberut manja, dia meng-iyakan perintahku. Aku mengelus rambutnya.

Setelah tiba di Shelter dekat kostanku, aku SMS Arian untuk menanyakan posisinya dimana. Dia membalas, ternyata dia sedang membeli beberapa snack di mini market diseberang Shelter. Gak lama, aku melihat sosok yang aku kenal berjalan kearahku. Arian melambaikan tanganya dan menghampiriku. 

Nostalgia.

Sudah lama sekali aku tidak berjumpa dengannya. Teman yang selalu menghiburku ketika cintaku ditolak oleh beberapa wanita yang aku suka, teman terhebatku dalam sepak bola, dan teman terbaikku sampai saat ini.

"Apa kabar lo?" Tanya Arian.

"Baik, lo gimana? Gemukkan lo sekarang."

"Iya, kalo kurus, kaki gue udah pasti patah kena tackle-tackle sadis diliga mahasiswa di Jakarta."

Nostalgia sekali.

Obrolan kecil dan tawa jadi menu kami berdua sambil berjalan kearah kostanku. Kami berdua berjalan menembus malam. Ketika sampai dikostanku, Arian kaget, karna kostanku terlalu rapih untuk seukuran cowok begajulan sepertiku. Dia gak tau, kalo tadi sore sebelum berangkat ada wanita cantik yang merapihkannya, Anggita.

"Masih demen MU (Manchester United) juga lo?" Kata Arian sambil melihat setumpuk majalah Inside United milikku.

"Masih lah, kalo dada gue di belah, ada logo MU-nya nih Yan."

Kami berdua tertawa, lelucon sederhana mampu membangkitkan selera humor yang berlebihan terhadap dua orang sahabat yang sudah lama tidak bertemu.

"Gimana karir lo, Dick?"

"Smester kemaren, tim sepak bola kampus gue juara tiga se-Jogjakarta, Yan."

"Lumayanlah, lo maen diposisi Striker lagi?"

"Enggak, gue sekarang Midfielder."

"Wah turun pangkat gitu lo jadinya, hahaha."

"Posisi boleh turun, tapi jabatan naek, gue kapten tim, Yan. Hahaha."

"Bagus, bagus." Arian berjalan kedepan Tv, dan melihat fotoku bersama Radickal. "Temen-temen lo banyak ya disini." Lanjut Arian.

"Ya begitulah, yang difoto itu, hampir tiap hari dateng kekostan gue cuma buat maen PS."

"Sekarang mereka gak dateng?"

"Belom tau, agak malem biasanya kalo dateng juga, eh lo tidur dimana?"

"Di penginapan, didaerah Malioboro, bareng temen gue."

"Yah, tidur disini aja, nanti gue kenalin sama temen-temen gue."

"Telat, gue udah bayar penginapannya."

"Kesini dalam rangka apa lo, Yan?" Tanya gue sambil menyuguhkan teh manis hangat.

"Maen aja, gue sekalian mau tau kabar lo, semenjak lo kirim surat galau waktu itu."

"Hahahaha, masih aje dibahas."

"Denger, Dicka. Berusahalah tampil di final pada turnamen nanti."

Aku terdiam, dan kaget Arian ngomong gitu dengan tiba-tiba.

"Ada juga lo yang berusaha, Yan. Hahaha." Aku menanggapi pernyataan Arian dengan tidak serius.

"Gue serius, karna dengan mencapai final, gue punya kesempatan bertanding lawan lo, untuk pertama kalinya, Dicka."

"Oke, tenang aja, yang jelas tim kampus gue akan jadi juara kali ini."

"Bermimpilah dengan tinggi, sebelum akhirnya gue jatuhkan nantinya"

Aku kembali terdiam, arah pembicaraan menjadi serius. Arian jauh-jauh ke Jogja cuma untuk menyampaikan permintaan sekaligus peringatan. Gak lama dia pamit kembali kepenginapannya, karna gak enak sama temennya yang udah nunggu daritadi. Arian menyalamiku, aku mengantarnya sampai depan pintu. Aku terkejut dengan kehadiran Arkha yang berdiri didepan pintuku yang tertutup. Dia pasti dengar semua pembicaraanku dengan Arian. Raut wajahnya penuh kebencian saat menatap Arian. Aku mengenalkan Arkha kepada Arian. Arian menyalami Arkha sambil berbisik "berusahalah" sebelum meninggalkan aku dan Arkha dengan senyuman meremehkan.

Aku mempersilahkan Arkha masuk seperti biasa dengan keadaan yang tidak biasa, kami berdua terdiam. Cuma kata "berusahalah" dari Arian tadi yang (mungkin) ada dalam pikiran kami.

"Itu tadi temen terhebat lo, Dicka?" Tanya Arkha memecah kebuntuan.

"Iya, itu dia. Arian."

"Menarik, kita lihat sampai dimana timnya bisa bicara. Gue balik ah." Arkha bangkit dari duduknya.

Aku kembali mengantar tamuku sampai depan pintu. Lalu merebahkan badanku diatas kasur. Arian sangat berambisi bertanding denganku. Aku menghela nafas. Nada SMS berdering dari HPku. 

Gita SMS.

"Jangan main PS lagi malam ini, oiya kenalkan Arian padaku besok setelah pulang kampus ya, nite Dicka :)"

Aku gak bales SMS Gita, aku pejamkan kedua mataku yang lelah namun bingung ini. Sampai pada akhirnya aku benar-benar terlelap.

-bersambung-




My Blog List

Recent Posts

Recent Comments