Jumat, 23 September 2011

THE RADICKAL (empat)

Rencana dihari libur kuliah kali ini aku mau pergi kesupermarket untuk membeli perlengkapan mandi yang mulai kritis pukul 10.00 pagi. Setelah itu sarapan beli bubur di daerah Malioboro pukul 11.00 pagi. Lalu bersantai-santai dikamar kostan sampai pukul 3.00 sore, dan latihan. Kira-kira seperti itulah jadwal yang sudah kususun rapih dan mantap untuk hari ini. Namun alam seolah berkata lain, aku dan Gita baru bangun tidur pukul 10.30 dan otomatis semua rencana setelah pukul 10.00 keatas jadi berantakan. Sepertinya cacingku tidak akan mendapat bubur Malioboro hari ini.

Tanganku mengalami kram otot saat bangun, ternyata posisi tidur aku dan Gita tidak berubah dari semalam. Aku membutuhkan waktu 10 menit untuk menetralisir rasa kram pada tanganku dengan bantuan pijitan dari Gita.

Ini sudah ketiga kalinya Gita menginap dikamarku dalam 2 bulan terakhir, makanya Gita sudah tidak canggung lagi. Malam pertama Gita tidur disini karna kunci kamarnya terbawa Dian yang pergi menginap dikostan temannya saat tugas kelompok. Gita canggung, dan rasa canggung itu berhasil bikin aku tidur dilantai dengan beralas tikar. Ketika tamu adalah raja, maka tuan rumah adalah babu sesaat. Malam kedua Gita mulai pengertian dengan tanda kutip. Kami tidur dikasur yang sama, dengan syarat melewati batas guling, aku hancur berkeping-keping. Aku tidur memiringkan badan dipinggir kasur, dan berhasil sakit pinggang. Tuan rumah sudah tidak menjadi babu, tapi bukan berarti jadi raja. Malam ini, malam ketiga. Gita lebih pengertian dengan tanda kutip, tidak ada guling pembatas, dia tidur dipelukanku, tanganku membelai rambut indahnya. 12 jam membelai rambut wanita, maka kram tangan yang kau dapatkan. Waspadalah ! Aku menjadi raja dengan tanda kutip.

Setelah tanganku normal kembali, aku berdiri, kemudian melakukan ritual untuk pengidap darah rendah seperti biasa. Lalu aku berjalan kekamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi. Gita? Dia masih ngulet manja dikasurku.

Sambil menggosok gigi, aku berjalan kearah pintu kamarku dan membukanya agar semua orang dikostan ini tau sudah ada tanda kehidupan dikamarku. Begitu aku buka pintu tiba-tiba ada makhluk setinggi badanku, berkulit putih, dan sedikit keriting. Arkha.

"Monyet, bikin gue kaget aje lo, kenapa gak SMS dulu seh?" Protes ku.

"Yee, lo liat HP lo, udah ada berapa SMS masuk dari gue?" Arkha membela diri, lalu kaget melihat temen wanita sekelasnya sedang terlihat sexy memakai kaos bola dengan boxer super pendek sedang ngulet manja dikasurku.

Aku langsung mengusir Arkha sejenak keluar, dan menutup pintu kembali. Lalu aku menyuruh Gita segera bangkit dari ngulet manjanya itu untuk bergegas ganti memakai celana jeans. Aku tidak rela harus berbagi ke sexy-an Gita dengan Arkha.
Gita menurut sambil tersenyum. Tapi Jeans Gita masih basah, mustahil langsung dipakai. Aku memberikan Gita Pertolongan Pertama Pada Ke Sexy-an. Atau P3KS. Aku lemparin Gita sarung.

Aku kembali mempersilahkan Arkha masuk. Raut mukanya menjadi raut muka kekecewaan setelah melihat Gita yang sexy memakai sarung mirip pengatin sunat. Aku toyor kepala Arkha dari belakang dengan tatapan "Jangan macem-macem sama calon gue" Arkha bales melotot kearahku, lalu melirik Gita, matanya seolah bertanya "Abis ngapain lo ama Gita?" Aku bales melotot kearah Arkha lalu melirik Gita, dan melotot lagi ke Arkha mataku bicara "Gue sama Gita, mau ngapain aja juga bukan urusan lo." Gita yang daritadi melihat gerak-gerik aneh kami didepan pintu kamar cuma mengangkat bahu sambil menggelengkan kepala seolah ingin berkata "Dua cowok idiot." lalu Gita bergegas kekamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi. Aku dan Arkha saling tatap mata.

"Pssst serius gue, lo abis ngapain sama Anggita tadi malem, Dicka?" Arkha berbicara setengah berbisik, takut kalau Gita dengar dari kamar mandi. Rupanya dia masih penasaran.

"Kagak ngapa-ngapain, nyeet. Gak percaya amat lo sama gue." Kata ku sambil ngecek HP.

"Ah, gak percaya gue, cowok sama cewek berduaan yang ketiganya ya bayi, nyet." Kata Arkha masih dengan suara berbisik.

"Sembarangan lo kalo ngomong, lagian ngapain si lo pagi-pagi gini kesini? Gak jadi nginep dikamar Ji bareng yang laen?" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan dan rasa penasaran Arkha.

"Ah apaan, gak dapet tempat molor gue disana, lo juga gue SMS-in dari tadi malem gak bales-bales."

"Gue, sama Dicka ketiduran abis dari kostan Ji, soalnya keujanan." Samber Gita yang baru keluar dari kamar mandi sambil menguncir rambut indahnya. Lalu duduk disampingku.

"Nih baru gue baca SMS lo, Kha, apa perlu gue bales sekarang?" Kataku.
 
"Gak perlu, Dicka, HP gue lagi lowbat. PS yok, berani gak lo? Tarohan lagi kayak kemaren."

Mampus. Arkha gak tau kalau aku sedang menyembunyikan bangkai dari hidung Gita, dan dengan polosnya Arkha meberi tahu dimaa letak bangkai tersebut. Gita jadi tidak hanya mencium, tapi juga melihat bangkai tersebut.

"Ooooh, jadi kemaren itu kalian taruhan? Yang maen PS sampe jam 3 pagi? Yang kalian berdua gak masuk kuliah?"

"Iya." Kata Arkha mantap.

"I.. Iyaa.. Gita sayang.." Kataku pasrah.

"Oooooh begitu toooh." Kata Gita sambil melirik tajam kepadaku, kali ini matanya berkata "Kalau Arkha pulang, mati kamu, Dicka!"
 
Aku melayani Arkha maen PS, kali ini tidak memakai uang taruhan. Sementara Gita sedang mencari sarapan untuk kami bertiga. Arkha datang kekostanku dengan cacing yang sedang membakar ban dan demo minta diberi makan.
Sebenarnya aku tidak enak sama Gita, pasti pengeluaran dia jauh lebih boros berkali-kali lipat sejak kenal dekat denganku, dan Arkha yang kadang-kadang muncul disaat situasi kondusif - jam makan. Aku pernah bicara dengan Gita untuk tidak selalu membelikanku tetek bengek soal perut, aku masih bisa cari uang dengan cara mengalahkan Radix, Lucky, dan Ji dalam pertandingan harga diri di PS. Tapi Gita malah kultum. Gita bilang caraku mencari nafkah untuk diriku sendiri terlalu haram. Lagipula Gita meragukan aku bisa mereguk banyak uang dari PS, karna selalu kalah melawan Arkha pada akhirnya, aku menabung susah payah, Arkha merampasnya dengan mudah. Aku penjudi gagal.
 
"Lo udah tau tim kita ada di Group mana, Dick?" Tanya Arkha yang matanya masih terfokus pada layar tv.
 
 "Belom, pelatih belom SMS atau telpon gue Kha. Lo udah tau?"

"Udah, pelatih nelpon keHP lo kemaren, tapi mailbox. Dia bilang kita satu grup sama Universitas Garuda Pancasila, kampus Arian."

Aku kaget.
 
Aku melepaskan joystick PS. 
 
Aku terdiam. 
 
Arkha pun ikut terdiam. Dia pasti tau betul apa yang sedang ku pikirkan.
 
Suasana menjadi hening. Sampai Gita datang dan menoba mencairkan suasana dengan bertanya "kenapa pada diem?"
 
Arkha menjelaskan duduk perkaranya kepada Gita. Aku biarkan Gita paham dengan sendirinya. Aku merebahkan tubuhku kekasur. Gita menghampiriku kekasur, tidak ada sepatah kata dari bibirnya, dia cuma mengusap-usap pipiku.
 
"Yaudah mendingan makan dulu yuk ah nyet, nanti baru kita bahas lagi masalah ini." Giliran Arkha mencoba mencairkan suasana. 
 
Aku baru bangkit dari kasur setelah ditarik Gita, kami sarapan bertiga. Suasana mulai cair, mulai ada senyum dan tawa pada sarapan pagi ini. Arkha memang jago mencairkan suasana dengan leluconnya, di tim pun dia juga dijuluki moody maker, dia bisa membuat rekan setimnya lebih relax saat tim kami hampir kalah. Thanks mate, my mood is back.

Setelah makan Gita pergi mandi, dan pulang kekostannya, karna aku dan Arkha memutuskan untuk datang latihan jauh lebih awal, tekad ku untuk mengalahkan Arian di Final, akan ku keluarkan di babak penyisihan group. Aku juga sudah menyuruh Arkha SMS The Radickal supaya ikut datang lebih awal. Mereka tampak antusias ketika mendengar Arian - orang yang aku sering banggakan depan mereka adalah lawan di babak penyisihan group. 

Latihan pukul 4 sore, The Radickal datang pukul 3.

Kami langsung melakukan pemanasan lari-lari kecil mengelilingi lapangan sebelum latihan ringan yaitu passing dan shooting. Tangan Ji sudah membaik, namun Ji masih kelihatan melindungi tangannya agar tidak kembali cidera. Penampilan Ji kurang maksimal dan cenderung dipaksakan.

Kami memutuskan beristirahat 10 menit dan duduk melingkar.

"Gue masih gak nyangka, Dick. Kita bisa ketemu temen lo itu secepat ini." Kata Radix sambil mengatur nafasnya.

"Sama, gue juga gak nyangka, pasti menarik bukan?" Kata ku sambil sedikit tersenyum.

"Sejago apapun Arian, gue enggak takut. Gue gak akan biarin gawang gue kegolan sama dia" Kata Ji.
"Iya bener, walaupun tangan lo patah, lo gak boleh kegolan sama Arian, Ji. Kita kasih tau yang namanya Arian, kalo tim kita gak selemah yang dia kira." Kali ini Lucky yang bicara.

"Sepak bola bukan permainan satu orang, kita The Radickal, dibantu juga sama temen-temen yang laen pasti jadi juara kali ini. Ya kan, kapten?" Kata Arkha.

"YOSH ! Duet gue sama Arian cuma masa lalu, dan gue gak lagi hidup dimasa lalu. Gue hidup di masa sekarang, kita akan kalahin Arian dan timnya dua kali, di babak penyisihan group, dan di Final. Lalu gue dapetin hati Anggita." Kataku sambil mengepalkan tangan.
"Tapi ngomong-ngomong Dick, kata Arkha Gita nginep tadi malem dikostan lo? Lo ngapain aja? Maen Dokter-dokteran gak? Apa papah-mamahan" Sindir Radix disambut tawa terbahak-bahak yang lain.

Arkha sialan, dia ternyata menyelipkan NB dalam SMS  yang aku suruh kirim ke anak-anak The Radickal.

The Radickal hari ini latihan lebih awal, kata pelatih kita lawan Arian dibabak penyisihan, ayo tunjukkan semangatmu anak muda ! 
 
NB : Anggita nginep dikostan Dicka looh. Tarohan Dicka kuat berapa menit? 20ribu-20ribu ya.

ARKHA COOL !


-bersambung-



My Blog List

Recent Posts

Recent Comments