Senin, 28 November 2011

RUNDOWN HIPHOP PARKIRAN 6



RUNDOWN

19.00 Sniper B

19.10 Kryptik

19.20 Deni Boi

19.30 Poncotempo*

19.40 One2Hood

19.50 Lil Gucci

20.00 Mental Trip

20.10 Bogor Beatbox Community

20.20 8ball

20.30 Dizzy n Aul

20.40 FlowR

20.50 Rap Cianjur

21.15 Edgar

21.25 The Big Brother

21.35 Ruff Neck

21.45 KankerJanin

21.55 Iel Mc feat Minus Art

22.05 Hybernate

22.15 Mullato

22.25 AKB

22.35 Lady Gan

22.45 Polda Record

22.55 Fuclan*

23.05 Medjai

23.15 Saxied

23.25 TNG Soldier

23.35 Lets Grow

23.45 Biand B

23.55 Optimuzt

NB : Mohon maaf jika mendapatkan jam yang kurang berkenan, anggap saja kelalaian pihak panitia.


* belum ada konfirmasi lebih lanjut perform atau tidaknya.





Senin, 03 Oktober 2011

THE RADICKAL (lima)

Aku bersama seluruh tim mendapatkan dispensasi untuk mengikuti turnamen, terhitung sejak hari ini. Karena turnamen akan diselanggarakan diJakarta. Dan disinilah aku sekarang, duduk manis didalam pesawat menunggu bapak pilot menerbangkanku menuju kampung halamanku, Jakarta.
 
Aku duduk paling pojok, didekat jendela, bersama pelatih dan Arkha. Walaupun cuma 1 jam perjalanan menuju Jakarta, aku tetap ingin melihat pemandangan awan dipagi hari. Oiya, hari ini sang Raja tidak ditemani sang Ratu, Anggita tidak ada disini bersamaku, dan tim, Gita ada dikampus untuk belajar seperti biasa. Surat dispensasi dari kampus cuma berlaku untuk para pemain, bukan suporter.
 
Arkha sibuk mendengarkan musik di MP3 Playernya, sementara pelatih sedang membaca majalah Inside United yang aku bawa dari kostan. Aku rasa pelatih membacanya hanya untuk membunuh rasa bosan, karena yang aku tau, pelatih sangat mencintai tim AC Milan. 

Pesawat sepertinya siap untuk menembus langit, karna para Pramugari cantik sedang sibuk memperagakan gerakan yang boleh atau tidak dilakukan dalam selama pesawat berada diudara. Aku memperhatikan dengan seksama ,bukan, bukan karna aku mendadak jadi patuh terhadap peraturan, tetapi aku sedang sibuk memperhatikan kecantikan Pramugari-Pramugarinya. Maaf Gita, kita hidup diantara cinta dan luka.

Setelah selesai "Fashion Show" dari Pramugari tadi, akhirnya pesawat yang kami tumpangi bersiap untuk terbang. Sampai bertemu 2 minggu lagi, Jogjakarta.

Tidak banyak yang dapat aku lakukan selama pesawat berada di angkasa. Aku cuma menghabiskan waktu dengan tertidur. Dan seketika sudah sampai di Jakarta.

Hari ini timku baru akan bertanding jam 7 malam, aku jadi punya waktu banyak sebelum pertandingan, pertama, aku akan mengunjungi orang tua dan adik-adikku dulu, lalu istirahat dirumah, kangen juga rasanya sudah 2 bulan tidak pulang karna sibuk latihan.

Aku meminta izin kepada pelatih untuk pulang kerumah dulu, lalu bergabung lagi nanti sore ditempat penginapan tim. Pelatih mengizinkanku. Jabatan sebagai kapten tim selalu memudahkan semua keinginan ku untuk masalah-masalah nonteknis.

Aku menyetop taxi.

Begitu sampai dirumah, aku disambut suka cita, seolah-olah aku anak hilang yang berhasil kembali kerumah. Aku kembali menjadi Raja dirumah. Ayahku tidak ada dirumah, beliau masuk kerja hari ini, hanya ada Ibuku. Adik-adikku juga sedang pergi berjuang menuntut ilmu. Aku curhat panjang lebar tentang kehidupanku 2 bulan tidak pulang dengan Ibuku. Biasanya 2 minggu sekali aku sempatkan untuk pulang. Kami ngobrol dimeja makan. Ah kangen sekali rasanya.

Aku juga sedikit menceritakan tentang hubunganku dengan Gita, Ibu cuma kasih beberapa wejangan agar aku berhasil mendapatkan hati Gita, selama aku cocok, orang tuaku pasti support. Yes !

Aku langsung pamit lagi untuk kepenginapan tim, karna akan ada instruksi yang akan pelatih berikan sebelum pertandingan pertama jam 7 nanti. Ibu merestui kepergianku dengan doa tulusnya, agar aku dan tim ku memenangi pertandingan pertama. 

Hp ku berdering dalam perjalanan menuju penginapan tim. Gita menelpon.

Aku angkat.

"Halo." Kata Gita diseberang sana.

"Hmm."

"Kamu udah sampe? Kok gak ngasih kabar? Gak tau apa kalo aku khawatir?!"

"Iya, udah kok dari jam 11 tadi, aku tadi mampir kerumah dulu buat ketemu Ibu, tapi ini udah diperjalanan menuju penginapan tim kok."


"Oooh, Tandingnya jam berapa kamu?"

"Jam 7."

"Kamu tau kan apa yang harus kamu lakukan kalau kita mau meresmikan apa yang sudah kita jalani, Dicka?"

"Tunggu aku disana 2 minggu lagi, Gita, aku bawakan sebuah piala, sekalung medali, dan sebentuk hati untukmu."

"Hehe, yaudah kamu berjuang ya, karna hatiku harganya mahal. Udah mulai masuk lagi nih, mata kuliah selanjutnya, daaaah."

"Iya, daah."

Taxiku sampai kepenginapan. Aku langsung menuju kamar. Setelah menyerahkan 1 lembar uang 50ribuan kepada bapak supir.

Aku merebahkan badanku yang lelah keatas kasur. Arkha baru selesai mandi.

"Nyet, lawan kita sekarang katanya dari Bogor." Kata Arkha sambil memakai kaos.

"Lawan kampus Arian kapan?"

"Lusa, pertandingan terakhir di fase group. Lo mau ikut gue gak?"

"Mau kemana?"

"Nonton kampusnya Arian tanding, Ji, Radix, Fajar, Bagas, ikut, sisanya pada tepar."

"Jam berapa emang?"

"Jam 3."

"Oke gue ikut. Gue molor dulu tapi, bangunin ya."

"Iyee."

5 menit saja, aku sudah berada dialam mimpi.

Beberapa jam berikutnya, Arkha menunaikan pekerjaannya dengan baik, dia membangunkanku tidur tepat jam 3 sore. Jarak dari penginapan ke lapangan pertandingan sangat dekat. Jadi kami dapat menempuhnya dengan berjalan kaki.

Pertandingan masih belum dimulai ketika aku dan yang lain berhasil mendapatkan tempat duduk yang pas untuk menyaksikan laga ini. Aku melihat dari jauh kearah bench tim kampus Arian yang sedang bersiap-siap masuk lapangan. 

"Nyet, itu Arian, gak maen kayaknya, dia masih duduk sambil make rompi di bench." Tanya Arkha.

"Yang mana sih yang namanya Arian?" Radix mencari tau.

"Tuh yang duduk disamping pelatihnya, yang rambutnya belah pinggir." Arkha mengarahkan pandangan Radix.

"Lah dia katanya jago, kok gak dimaenin?" Tanya Bagas.

"Gue juga gak tau." Jawabku singkat.

Pertandingan dimulai, tim kampus Arian langsung menekan sejak awal. Terlihat jelas mereka mngincar kemenangan pertama di grup kami. Pemain bernomer punggung 9 dari tim kampus Arian terlihat sangat mengerikan, body balance nya bagus, walau sudah dikepung oleh 2 orang, dia masih bisa berlari dan melakukan passing ke nomer punggung 5. Pemain bernomer punggung 5 ini sangat tenang dalam menahan bola, dia dapat memperhatikan sekelilingnya dengan baik. Lalu melakukan passing jauh kearah sayap kanan. Bola dapat dikontrol dengan baik oleh pemain sayap kanan bernomer punggung 20. Setelah berhasil melewati 2 pemain lawan dengan mengandalkan kecepatan, dia melakukan... Shooting. Bola membentur tiang dan cuma menghasilkan tendangan gawang.

"Kenapa dia shooting? Padahal ada 3 orang yang udah nunggu bola didepan gawang." Kataku.

Pemain sayap itu memiliki speed dan shooting yang luar biasa. Sekilas aku seperti melihat Arkha dan Fajar menjadi satu. Arkha, Radix, Bagas, dan Fajar terdiam. Pertandingan baru berjalan 2 menit tetapi tim dari kampus Arian sudah hampir mencetak goal dari shooting jarak jauh dari sisi kiri pertahanan lawan.

"Shoot tadi, kayak semacam ucapan selamat datang di turnamen ya nyet." Kata Arkha.

"Iya, bisa jadi, tapi sayang mereka buang peluang bagus."

Dan benar saja, setelah shoot yang keras barusan, tim lawan jadi seperti hidup segan, mati tak mau. Passing tim lawan menjadi sangat parah. Mereka seperti linglung ingin memberikan bola kepada siapa. Pemain tengah mereka terlalu lama menahan bola, dan mengakibatkan tim kampus Arian berhasil merebut bola. Lagi-lagi bola diberikan kepada pemain nomer punggung 5 yang juga sekaligus menjadi kapten tim kampus Arian. Satu pemain lawan mencoba merebut dengan melakukan tackle namun berhasil dihindari dengan mulus oleh sang kapten. Bola kembali di umpan jauh, namun kali ini sang kapten memberikan kepada kiper sendiri. Sang kiper pun berhasil menahan bola dengan dadanya. Dan langsung menendang tinggi bola kearah gawang lawan. Disana ada tiga pemain yang siap menyambut dengan penjagaan ketat oleh empat pemain belakang musuh. Bola sampai di hadapan pemain nomer 9, tanpa menahan bola, pemain itu langsung menembakkan bola kemulut gawang dengan terarah.

Goal.

1-0.

Semua penonton yang hadir dilapangan ini berteriak gembira setelah timnya mampu unggul pada menit ke 5. Tim Arian mampu mencetak goal melalui dua kali operan lambung. Tim yang menjadi juara Liga Mahasiswa se-Jakarta ini ternyata memang luar biasa.

Tim lawan, mencoba membangun serangan melalui operan-operan pendek, pertahanan tim Arian terlalu rapat dan sulit untuk ditembus. Pemain bernomer punggung 7 dari tim lawan melakukan tendangan spekulasi dari luar kotak penalty. Bola membentur pemain belakang sehingga berubah arah, kiper tim Arian melakukan penyelamatan gemilag, dengan menepis bola tersebut. Bola masih jatuh ke pemain lawan, dan untuk kedua kalinya sang kiper menepis bola walau dalam keadaan duduk. Corner kick untuk tim lawan.

"Gimana menurut lo, Ji?" Tanyaku kepada Ji.

"Penyelamatan pertama luar biasa, penyelamatan kedua itu gila. Gue baru liat kiper kayak dia."

"Kayaknya pertandingan lawan tim Arian menarik nih, ya kan Dick?" Kata Radix.

"Yap lo bener, gue jadi gak sabar."

Serangan tadi adalah serangan pertama sekaligus terakhir yang dimiliki tim lawan. Karna setelah Corner Kick, pertandingan resmi menjadi milik tim Arian. Sampai menit ke-90 Arian sama sekali tidak diturunkan dalam pertandingan pertama ini. Dan skor akhir adalah 7-0. Tim Arian menang mutlak. 

Aku dan yang lain kembali kepenginapan dan bersiap untuk pertandingan selanjutnya malam ini. Tim Arian memiliki pemain-pemain yang hebat, tapi belum menampilkan seluruh kekuatannya, kami harus mencuri point juga pada pertandingan perdana, sebelum berhadapan dengan tim Arian.

Kami siap!

-bersambung-

Minggu, 25 September 2011

TUJUH BELAS RIBU ! ! !

Tujuh belas ribu masih sedikit kalo dibandingin sama 1 milyar.

Tujuh belas ribu masih bukan apa-apa kalo diliat ari nominal angka.

Tapi..

Tujuh belas ribu pengunjung dalam kurun waktu 2 taun ngeblog itu SANGAT berharga buat gue.

Terima kasih atas keisengan, keingin tahuan, dan kehobian kalian yang udah bersedia mampir ke blog ini. :)

-BayuDicka-



Jumat, 23 September 2011

THE RADICKAL (empat)

Rencana dihari libur kuliah kali ini aku mau pergi kesupermarket untuk membeli perlengkapan mandi yang mulai kritis pukul 10.00 pagi. Setelah itu sarapan beli bubur di daerah Malioboro pukul 11.00 pagi. Lalu bersantai-santai dikamar kostan sampai pukul 3.00 sore, dan latihan. Kira-kira seperti itulah jadwal yang sudah kususun rapih dan mantap untuk hari ini. Namun alam seolah berkata lain, aku dan Gita baru bangun tidur pukul 10.30 dan otomatis semua rencana setelah pukul 10.00 keatas jadi berantakan. Sepertinya cacingku tidak akan mendapat bubur Malioboro hari ini.

Tanganku mengalami kram otot saat bangun, ternyata posisi tidur aku dan Gita tidak berubah dari semalam. Aku membutuhkan waktu 10 menit untuk menetralisir rasa kram pada tanganku dengan bantuan pijitan dari Gita.

Ini sudah ketiga kalinya Gita menginap dikamarku dalam 2 bulan terakhir, makanya Gita sudah tidak canggung lagi. Malam pertama Gita tidur disini karna kunci kamarnya terbawa Dian yang pergi menginap dikostan temannya saat tugas kelompok. Gita canggung, dan rasa canggung itu berhasil bikin aku tidur dilantai dengan beralas tikar. Ketika tamu adalah raja, maka tuan rumah adalah babu sesaat. Malam kedua Gita mulai pengertian dengan tanda kutip. Kami tidur dikasur yang sama, dengan syarat melewati batas guling, aku hancur berkeping-keping. Aku tidur memiringkan badan dipinggir kasur, dan berhasil sakit pinggang. Tuan rumah sudah tidak menjadi babu, tapi bukan berarti jadi raja. Malam ini, malam ketiga. Gita lebih pengertian dengan tanda kutip, tidak ada guling pembatas, dia tidur dipelukanku, tanganku membelai rambut indahnya. 12 jam membelai rambut wanita, maka kram tangan yang kau dapatkan. Waspadalah ! Aku menjadi raja dengan tanda kutip.

Setelah tanganku normal kembali, aku berdiri, kemudian melakukan ritual untuk pengidap darah rendah seperti biasa. Lalu aku berjalan kekamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi. Gita? Dia masih ngulet manja dikasurku.

Sambil menggosok gigi, aku berjalan kearah pintu kamarku dan membukanya agar semua orang dikostan ini tau sudah ada tanda kehidupan dikamarku. Begitu aku buka pintu tiba-tiba ada makhluk setinggi badanku, berkulit putih, dan sedikit keriting. Arkha.

"Monyet, bikin gue kaget aje lo, kenapa gak SMS dulu seh?" Protes ku.

"Yee, lo liat HP lo, udah ada berapa SMS masuk dari gue?" Arkha membela diri, lalu kaget melihat temen wanita sekelasnya sedang terlihat sexy memakai kaos bola dengan boxer super pendek sedang ngulet manja dikasurku.

Aku langsung mengusir Arkha sejenak keluar, dan menutup pintu kembali. Lalu aku menyuruh Gita segera bangkit dari ngulet manjanya itu untuk bergegas ganti memakai celana jeans. Aku tidak rela harus berbagi ke sexy-an Gita dengan Arkha.
Gita menurut sambil tersenyum. Tapi Jeans Gita masih basah, mustahil langsung dipakai. Aku memberikan Gita Pertolongan Pertama Pada Ke Sexy-an. Atau P3KS. Aku lemparin Gita sarung.

Aku kembali mempersilahkan Arkha masuk. Raut mukanya menjadi raut muka kekecewaan setelah melihat Gita yang sexy memakai sarung mirip pengatin sunat. Aku toyor kepala Arkha dari belakang dengan tatapan "Jangan macem-macem sama calon gue" Arkha bales melotot kearahku, lalu melirik Gita, matanya seolah bertanya "Abis ngapain lo ama Gita?" Aku bales melotot kearah Arkha lalu melirik Gita, dan melotot lagi ke Arkha mataku bicara "Gue sama Gita, mau ngapain aja juga bukan urusan lo." Gita yang daritadi melihat gerak-gerik aneh kami didepan pintu kamar cuma mengangkat bahu sambil menggelengkan kepala seolah ingin berkata "Dua cowok idiot." lalu Gita bergegas kekamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi. Aku dan Arkha saling tatap mata.

"Pssst serius gue, lo abis ngapain sama Anggita tadi malem, Dicka?" Arkha berbicara setengah berbisik, takut kalau Gita dengar dari kamar mandi. Rupanya dia masih penasaran.

"Kagak ngapa-ngapain, nyeet. Gak percaya amat lo sama gue." Kata ku sambil ngecek HP.

"Ah, gak percaya gue, cowok sama cewek berduaan yang ketiganya ya bayi, nyet." Kata Arkha masih dengan suara berbisik.

"Sembarangan lo kalo ngomong, lagian ngapain si lo pagi-pagi gini kesini? Gak jadi nginep dikamar Ji bareng yang laen?" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan dan rasa penasaran Arkha.

"Ah apaan, gak dapet tempat molor gue disana, lo juga gue SMS-in dari tadi malem gak bales-bales."

"Gue, sama Dicka ketiduran abis dari kostan Ji, soalnya keujanan." Samber Gita yang baru keluar dari kamar mandi sambil menguncir rambut indahnya. Lalu duduk disampingku.

"Nih baru gue baca SMS lo, Kha, apa perlu gue bales sekarang?" Kataku.
 
"Gak perlu, Dicka, HP gue lagi lowbat. PS yok, berani gak lo? Tarohan lagi kayak kemaren."

Mampus. Arkha gak tau kalau aku sedang menyembunyikan bangkai dari hidung Gita, dan dengan polosnya Arkha meberi tahu dimaa letak bangkai tersebut. Gita jadi tidak hanya mencium, tapi juga melihat bangkai tersebut.

"Ooooh, jadi kemaren itu kalian taruhan? Yang maen PS sampe jam 3 pagi? Yang kalian berdua gak masuk kuliah?"

"Iya." Kata Arkha mantap.

"I.. Iyaa.. Gita sayang.." Kataku pasrah.

"Oooooh begitu toooh." Kata Gita sambil melirik tajam kepadaku, kali ini matanya berkata "Kalau Arkha pulang, mati kamu, Dicka!"
 
Aku melayani Arkha maen PS, kali ini tidak memakai uang taruhan. Sementara Gita sedang mencari sarapan untuk kami bertiga. Arkha datang kekostanku dengan cacing yang sedang membakar ban dan demo minta diberi makan.
Sebenarnya aku tidak enak sama Gita, pasti pengeluaran dia jauh lebih boros berkali-kali lipat sejak kenal dekat denganku, dan Arkha yang kadang-kadang muncul disaat situasi kondusif - jam makan. Aku pernah bicara dengan Gita untuk tidak selalu membelikanku tetek bengek soal perut, aku masih bisa cari uang dengan cara mengalahkan Radix, Lucky, dan Ji dalam pertandingan harga diri di PS. Tapi Gita malah kultum. Gita bilang caraku mencari nafkah untuk diriku sendiri terlalu haram. Lagipula Gita meragukan aku bisa mereguk banyak uang dari PS, karna selalu kalah melawan Arkha pada akhirnya, aku menabung susah payah, Arkha merampasnya dengan mudah. Aku penjudi gagal.
 
"Lo udah tau tim kita ada di Group mana, Dick?" Tanya Arkha yang matanya masih terfokus pada layar tv.
 
 "Belom, pelatih belom SMS atau telpon gue Kha. Lo udah tau?"

"Udah, pelatih nelpon keHP lo kemaren, tapi mailbox. Dia bilang kita satu grup sama Universitas Garuda Pancasila, kampus Arian."

Aku kaget.
 
Aku melepaskan joystick PS. 
 
Aku terdiam. 
 
Arkha pun ikut terdiam. Dia pasti tau betul apa yang sedang ku pikirkan.
 
Suasana menjadi hening. Sampai Gita datang dan menoba mencairkan suasana dengan bertanya "kenapa pada diem?"
 
Arkha menjelaskan duduk perkaranya kepada Gita. Aku biarkan Gita paham dengan sendirinya. Aku merebahkan tubuhku kekasur. Gita menghampiriku kekasur, tidak ada sepatah kata dari bibirnya, dia cuma mengusap-usap pipiku.
 
"Yaudah mendingan makan dulu yuk ah nyet, nanti baru kita bahas lagi masalah ini." Giliran Arkha mencoba mencairkan suasana. 
 
Aku baru bangkit dari kasur setelah ditarik Gita, kami sarapan bertiga. Suasana mulai cair, mulai ada senyum dan tawa pada sarapan pagi ini. Arkha memang jago mencairkan suasana dengan leluconnya, di tim pun dia juga dijuluki moody maker, dia bisa membuat rekan setimnya lebih relax saat tim kami hampir kalah. Thanks mate, my mood is back.

Setelah makan Gita pergi mandi, dan pulang kekostannya, karna aku dan Arkha memutuskan untuk datang latihan jauh lebih awal, tekad ku untuk mengalahkan Arian di Final, akan ku keluarkan di babak penyisihan group. Aku juga sudah menyuruh Arkha SMS The Radickal supaya ikut datang lebih awal. Mereka tampak antusias ketika mendengar Arian - orang yang aku sering banggakan depan mereka adalah lawan di babak penyisihan group. 

Latihan pukul 4 sore, The Radickal datang pukul 3.

Kami langsung melakukan pemanasan lari-lari kecil mengelilingi lapangan sebelum latihan ringan yaitu passing dan shooting. Tangan Ji sudah membaik, namun Ji masih kelihatan melindungi tangannya agar tidak kembali cidera. Penampilan Ji kurang maksimal dan cenderung dipaksakan.

Kami memutuskan beristirahat 10 menit dan duduk melingkar.

"Gue masih gak nyangka, Dick. Kita bisa ketemu temen lo itu secepat ini." Kata Radix sambil mengatur nafasnya.

"Sama, gue juga gak nyangka, pasti menarik bukan?" Kata ku sambil sedikit tersenyum.

"Sejago apapun Arian, gue enggak takut. Gue gak akan biarin gawang gue kegolan sama dia" Kata Ji.
"Iya bener, walaupun tangan lo patah, lo gak boleh kegolan sama Arian, Ji. Kita kasih tau yang namanya Arian, kalo tim kita gak selemah yang dia kira." Kali ini Lucky yang bicara.

"Sepak bola bukan permainan satu orang, kita The Radickal, dibantu juga sama temen-temen yang laen pasti jadi juara kali ini. Ya kan, kapten?" Kata Arkha.

"YOSH ! Duet gue sama Arian cuma masa lalu, dan gue gak lagi hidup dimasa lalu. Gue hidup di masa sekarang, kita akan kalahin Arian dan timnya dua kali, di babak penyisihan group, dan di Final. Lalu gue dapetin hati Anggita." Kataku sambil mengepalkan tangan.
"Tapi ngomong-ngomong Dick, kata Arkha Gita nginep tadi malem dikostan lo? Lo ngapain aja? Maen Dokter-dokteran gak? Apa papah-mamahan" Sindir Radix disambut tawa terbahak-bahak yang lain.

Arkha sialan, dia ternyata menyelipkan NB dalam SMS  yang aku suruh kirim ke anak-anak The Radickal.

The Radickal hari ini latihan lebih awal, kata pelatih kita lawan Arian dibabak penyisihan, ayo tunjukkan semangatmu anak muda ! 
 
NB : Anggita nginep dikostan Dicka looh. Tarohan Dicka kuat berapa menit? 20ribu-20ribu ya.

ARKHA COOL !


-bersambung-



Sabtu, 17 September 2011

THE RADICKAL (tiga)

Hari ini aku bersahabat dengan pagi, mata kuliah Bahasa Inggris Bisnis 2 akan menjadi sarapan cacing-cacning diperutku pagi ini. Aku gak kesiangan. Dan langit pun terharu sampai menitikkan air matanya. 

"Sial, giliran bangun pagi, malah gerimis begini." Gerutu ku sambil sikat gigi diteras kostan.

Dari atas kasur HP ku berdering, ini adalah deringan yang ketiga kali dengan nada yang sama. Nada SMS. Aku adalah orang yang malas ngecek HP kalo bangun kepagian, karna aku sudah hafal betul siapa dan apa isi SMSnya.

Prediksi SMS pertama, SMS dari Mojang Bandung 2006, Anggita. Yang paling-paling menanyakan keberadaanku dimana dan menyuruhku kuliah pagi ini. Seperti biasa.

Prediksi SMS kedua, salah satu dari rekan satu tim ku yang ngingetin latihan dimajukan pukul 3 sore, karna pelatihku mau berangkat ke Jakarta. Aku sudah tau berita itu dari Arkha tadi malam, sebelum pamit pulang.

Prediksi SMS ketiga, operator yang menjelaskan promosi gono-gini nya. 

Setelah selesai bersikat gigi, aku kembali kekamar mandi untuk berkumur-kumur, aku bisa aja kumur-kumur pake air hujan, tapi itu cuma dilakukan dalam keadaan krisis air dikostanku. Aku biasa menyebutnya misi bertahan hidup, bersih.

Kuliah pagi ini baru akan dimulai 1 jam lagi, dengan letak kostanku yang berada di gang seberang kampus, aku cuma butuh waktu 2 menit untuk mendarat disana. Aku putuskan kembali bermalas-malasan dikasur. Sebentar aja, pikiranku mulai berkhayal. Khayalan pagi dengan keadaan hujan yang rintik gak sehebat biasanya, gak ada Maria Ozawa, atau Sora Aoi dalam khayalanku kali ini. Aku cuma terus mengingat kejadian tadi malam, waktu Arian datang kekostanku, dan memintaku untuk bertanding dengannya di Final Turnamen nanti. 

Aku menghela nafas.

Tim sepak bola kampusku adalah terbaik ke tiga se-Jogjakarta. Harusnya aku optimis bisa mengabulkan permintaan Arian. Tapi aku gak boleh menganggap remeh 16 tim yang lolos kualifikasi untuk mengikuti turnamen ini. Semenjak aku kuliah disini, aku buta dengan gaya permainan sepak bola Arian. Pikirku, dia pasti jauh lebih jago dari masa SMA dulu apalagi dia sudah direkrut klub lain yang lebih "layak" waktu itu.

Aku kembali menghela nafas.

HP ku berbunyi (lagi) kali ini nada telepon. Anggita sudah mulai bawel, mungkin pikirnya aku belum bangun. Aku menekan tombol gagang telepon berwarna hijau di HP ku.

"Halo?!" Suara Gita diseberang sana.

"Hmmmm."
"Kamu tumben bangun jam segini, Dicka?"

"Aku kebangun."

"Udah mandi?"

"Udah kok, kamu?"

"Udah dari subuh tadi, yaudah cepetan siap-siap kekampus sana."

"Hmmmm."

"Sampe ketemu dipelajaran Mrs. Lidya, kapten."

"Hmmmm."

Alarm (baca : Anggita) sudah bawel, aku bergegas siap-siap kekampus, tapi hujan begini lebih enak tidur. Kalau saja gak ada kuis, aku pasti sudah bersama Maria Ozawa dan Sora Aoi pagi ini. Aku berangkat kuliah.

Dengan modal lari-lari kecil dan bertudung tas slempangku, aku berhasil mendarat dikampus dengan selamat dan basah. Sebetulnya ada payung Anggita dikostan, tapi aku malas memakainya, serasa kurang macho aja gitu. Hehe.

Aku gak langsung menuju kelas, masih ada waktu 15 menit sebelum kelas dimulai, aku menunggu Arkha dulu di lobi kampus. Dia SMS sekitar 5 menit lagi dia sampe kampus. Dengan jam karet buatan asli Indonesia, Arkha sampe kampus 10 menit berikutnya. Raut mukanya biasa, berarti omongan Arian gak dimasukin ke hati olehnya.

"Yuk cabut." Ajak ku.

"Lo gak nungguin Gita, nyet?"

"Nanti juga ketemu dikelas."

"Bentar, kemaren ada yang kelupaan gue, duit gue mana?"

Sial. Arkha masih ingat uang taruhan harga diri. Aku merogoh dompet, dan menemukan 2 lembar sepuluh ribuan. Uangku berpindah tangan dengan cepat. Arkha tersenyum puas, cacing diperutku harap-harap cemas. Kami berjalan melalui koridor, lalu berpapasan dengan Radix yang juga mau masuk kekelas Mrs. Lidya. Arkha dan Radix ngobrol panjang lebar sambil ber-haha-hihi tentang tangan Ji yang memar akibat menepis tendangan keras Fajar. Aku lebih memilih menjadi pasif. Mood ku sedang gak enak hari ini. Dari semalam.

"Sekarang si Ji enggak masuk kuliah Dix? Hahahaha" Tanya Arkha.

"Iya, kemaren doi SMS katanya tangannya memar, terus dikompres gitu." 

"Lagian, tendangan keras gitu, Buffon juga males nepisnya."

"Bola itu tadinya mengarah ke gue, Kha. Tapi gue menghindar, jadi deh si Ji yang kena. Hahaha"

Ji, kiper utama tim kami gak masuk hari ini karna mendadak jadi stuntman pada latihan kemaren sore. Sebagai kapten tim aku jadi khawatir dengan keadaannya. Siapa sangka, pria blesteran Cina-Jawa yang mendadak melankolis waktu nonton drama Korea ini bisa jadi kiper utama tim kami. Keseharian Ji biasa banget. Kalo nongkrong di kostanku untuk tanding PS, dia memilih untuk tidur. Waktu diseleksi masuk tim sepak bola kampusku, Ji harus berdarah-darah menahan 100 shoot yang mengarah ke dia sebelum, dan sesudah latihan. Hal ini juga berlaku untuk Bagas. Kiper cadangan kami. Hanya saja badan Bagas jauh lebih kekar daripada Ji. Sayang gerakan Bagas kurang cepat.

"Yaudah nanti kita jenguk aja Ji kekostannya." Aku mencetuskan ide yang disambut anggukkan kepala oleh Arkha dan Radix.

Mrs. Lidya seharusnya diangkat menjadi Menteri Luar Negeri. Terbukti 1 jam mata kuliahnya, dia terus-menerus ngoceh dalam bahasa Inggris. Tidak ada sepatah dua patah kata Bahasa Indonesia yang keluar dari mulutnya. Dia pasti tidak mencintai Negeri sendiri. Setelah puas memborbardir telingaku dengan bahasa bule. Mrs. Lidya menyuruh para mahasiswa dan mahasiswi untuk mengeluarkan kertas selembar dan bersiap untuk kuis 1 jam berikutnya. 

Aku membuka binderku halaman demi halaman, dan tidak menemukan kertas kosong. Jangan salah sangka, isi binderku bukan catatan materi kuliah, melainkan gambar kostum sepak bola. Aku memang memiliki hobi mendesign kostum. Entah kostum Manchester United, maupun kostum untuk tim ku sendiri. Aku mungkin harus menjadi agak kemayu, agar cocok jadi designer hebat seperti Ivan Gunawan. Mataku memburu tempat duduk Anggita, dan berbicara pelan untuk meminta kertas. Mrs. Lidya mempunyai kuping sehebat kelelawar. Dia menunjuk kearahku. Dan meyuruhku untuk berbicara dengan bahasa bule. Ribet, aku hanya memninta kertas, tapi harus bercas-cis-cus terlebih dahulu. Aku tidak makan keju hari ini.

"Gita, i want you." kataku.

Gita mengerenyitkan matanya, dan coba menelaah apa maksud cas-cis-cus ku barusan. Mrs. Lidya pun geleng-geleng kepala. Aku mengangkat bahuku dengan mimik muka yang seolah berkata "apa salahku, Mrs. Lidya?"

"Gita, give that playboy a paper." Kata Mrs. Lidya.
"Oh! Here you go, playboy." Kata Gita sambil memberikan kertasnya kepadaku.

Kuis dimulai setelah seluruh kelas menertawakan kejadian selembar kertas. Pada ribet. Kuis kali ini simple, mahasiswa cuma menuliskan jawaban setelah soal di dikte oleh Mrs. Lidya. Aku sulit menerjemahkan kalimat-kalimat Mrs. Lidya. Kuis hari ini cuma 10 soal. Dan aku mengisi jawaban dengan penuh inisiatif. Aku tulis semua judul lagu Westlife yang aku ingat diatas selembar kertas yang bikin ribet tadi.

1. If i let you go.
2. My love.
3. Uptown girl.
4. Flying without wings.
5. Fragile heart.
6. Season in the sun.
7. What makes a man.
8. Fool again.
9. Soledad.
10. I have a dream.

Selesai.

Aku bahkan lebih dulu selesai menjawab ketika Mrs. Lidya baru membacakan 5 soal. Dan lebih hebatnya lagi, aku masih mampu menulis 10 judul lagu Westlife lainnya.

Arkha yang duduk disampingku, memandangku curiga. Aku balik menatapnya, dia memperlihatkan lembar jawabanya. Sama ngaconya! Dia menulis 10 judul lagu Bahasa Inggris juga, termasuk ada judul lagu Uncle John disana. Terima kasih Tuhan, aku tidak sendirian didunia ini.

Setelah Mrs. Lidya selesai membacakan 10 soal, kemudian dia menyuruh Fajar yang duduk dibangku paling belakang untuk mengumpulkan lembar jawaban sekelas. Fajar adalah mahasiswa terbaik di kelas Mrs. Lidya, bahasa Inggrisnya faseh, dan tidak kalah dengan balita bule. Aku bisa memprediksikan kalau kuis kali ini Fajarlah yang paling tinggi nilainya, itu mudah, semudah menebak siapa yang dapat score paling rendah.

Mrs. Lidya keluar ruangan kelas. Dan sekelas bersiap menerima mata kuliah Algoritma dari Bapak. Sutrisno. Anggita berjalan kemejaku, dia menghampiriku yang lagi asik menggambar kostum sepak bola dibinder.

"Gimana rasanya setelah ketemu sahabat lama, Dicka?" Anggita bertanya setengah jongkok, untuk mensejajarkan wajah ku.

"Ya gitu deh." Aku jawab seperlunya dengan mata yang masih tertuju pada kostum yang aku buat.

"Temen lo itu balik sekarang, nyet?" Arkha masuk kedalam obrolan ku dengan Gita.

"Iya, katanya sih. Udah ah, gue gak mau bahas dia." Aku merebahkan kepalaku diantara lipatan tanganku.

"Loh, kenapa emangnya? Kan kamu sudah lama gak ketemu Arian." Sambung Gita.

"Nanti aja aku ceritain, aku lagi malas, Gita."

"Iya Git, ceritanya panjang deh pokoknya." Samber Arkha.

"Oke deh, kapten. Aku ketoilet dulu yah." Kata Gita yang bangkit dari posisinya dan berjalan keluar kelas.

"Nitip cewek satu Git!" Teriak Arkha.

Gita menghentikan langkahnya sejenak sambil mengacungkan jari tengah kepada Arkha sambil tersenyum.

Pandangan mataku menatap keluar jendela, menatap gerimis diluar sana. Aku memejamkan mata sejenak. Aku kembali dalam ingatan dimana momen-momen terbaikku bersama Arian. Waktu masih sekolah kami berhasil menjadi juara 1 di Liga Siswa se-Jabodetabek.  Arian terpilih menjadi pemain terbaik, dan aku menjadi pemberi Assist terbanyak. Duetku dilini depan tim bersama Arian bisa membuat kiper lawan hidup segan mati tak mau.

"Dick, latihan hari ini kayaknya bisa batal deh karna ujan terus. Lagi juga pelatih jadinya berangkat jam 1 siang ini katanya naik travel, pengundian fase group dimajukan jadi jam 3 sore."  Seru Arkha, yang memecah lamunanku.

"Yaudah kita gak usah latian dulu hari ini, daripada nanti sakit, inget turnamen sebentar lagi." Aku mengambil keputusan.

Arkha langsung berinisiatif memberi tau seluruh tim sepak bola baik yang ada dikelasku, maupun dikelas lain. Kalau urusan bolos latihan, Arkha selalu terdepan.

Dibatalkannya latihan hari ini dikarenakan langit yang tak kunjung berhenti menangis, membuatku menjadwal ulang kegiatanku hari ini. Malas juga rasanya kalau cuma menghabiskan waktu tidur dikostan seharian. Dan yang paling penting, aku sedang tidak mau diganggu hari ini, mood ku sedang jelek. Aku harus pergi kesuatu tempat. Biar saja anak-anak The Radickal maen PS dikamarku. Aku sedang malas melayani permintaan bertanding mereka.

"Yaudah kamu kekostanku aja kalo mau." Usul Gita setelah aku menceritakan sebab mood ku jelek hari ini. "Lagi juga aku baru tau kalau kamu orang yang moody-an, hehe." Lanjut Gita.

"Yaudah aku kasih konci kamarku dulu ke Arkha, aku yakin The Radickal nginep hari ini sambil maen PS sampai pagi, apalagi besok gak ada jadwal kuliah."

Pak Sutrisno gak masuk lagi, dan ini sudah minggu kedua dia alpha sebagai dosen, kalau saja mahasiswa boleh memberikan nilai seperti halnya dosen memberikan nilai, maka Pak Sutrisno akan aku kasih nilai C, dan harus mengulang smester depan. Sesuai rencana awal, setelah pulang kuliah, aku, Arkha, Radix, Lucky, dan Gita menjenguk Ji terlebih dahulu. Aku jenguk hanya sekedar memastikan keadaannya saja, tangannya sudah tidak memar karna sudah dikompres dengan air hangat. Lusa, mungkin Ji sudah bisa ikut latihan lagi.

Dan sepertinya hari ini tidak ada jadwal main PS dikamar kostku, karna Arkha dan yang lain lebih memilih menetap dikamar Ji. Mereka ingin menemani Ji setelah Ji menawarkan 7 film DVD yang baru dia sewa, 3 diantaranya tetep.. Drama Korea. Nonton DVD adalah metode subtistusi untuk para pria kangen cinta seperti kami. Tapi aku tidak begitu merasaknnya, karna ada Gita, TTKP ku saat ini. (Teman Tapi Kayak Pacar) Aku dan Gita pamit pulang duluan setelah mereka habis-habisan meledekku dengan kalimat "bulan madu"

Aku dan Gita migrasi ketempat kostku, tidak jadi kekostan Gita. Lagipula Gita lebih suka berlama-lama dikostanku dengan nuansa MU hampir disetiap jengkal dinding kamarku.

"Kamu tau, aku sangat suka tidur dkasurmu ini, Dicka." Kata Gita sambil membanting badannya yang lelah kekasurku.

"Kenapa memangnya? Karna poster logo MU yang ada dilangit-langit itu?" Kataku sambil memberikan handuk kearah Gita.

"Iya, mungkin, tapi disini jauh lebih nyaman daripada kamarku." Kata Gita sambil mengeringkan rambutnya yang setengah lepek dengan handuk.

"Kamu mau teh manis hangat?"

"Boleh."

Aku buatkan teh manis hangat untuk tuan ratu dikamarku hari ini. Sementara Gita seperti biasa, membaca majalah Inside United yang dia belikan untukku kemarin. 2 menit kemudian aku kembali ke Gita, aku berikan dia teh manis. Aku duduk dilantai sambil menyender kekasur sambil menikmati teh manis milikku sendiri.

"Kamu masih suntuk, Dicka?" Tanya Gita sambil menyeruput teh manisnya dengan hati-hati menggunakan bibirnya yang tipis.

"Sedikit, sih." Aku melanjutkan menikmati teh manis hangat milikku.

Keadaan kembali hening, suara hujan mengalahkan segalanya sore ini.

"Boleh aku pinjam kostum kamu, Dicka?"

"Untuk apa?"

"Aku mau memakainya, lagipula bad mood kamu bikin kamu jadi tidak peka hari ini."

"Maksudmu tidak peka?"

"Apa kamu tega membiarkan aku memakai kaos yang basah kuyup seperti ini?"

Aku melihat kearah Gita, benar saja, kaosnya memang lepek, cuma karna hari ini dia memakai kaos berwarna hitam, aku kurang menyadarinya. Aku baru sadar ketika memperhatikan kaosnya menjadi lebih ketat dan bentuk tubuhnya lebih "nyata."

"Kenapa harus kaos tim ku? Aku punya banyak kaos MU kesukaanmu, kesukaan kita, Gita."

"Aku maunya kaos yang biasa kamu pakai untuk bertanding. Titik!"

Aku mengangkat bahuku, lalu mengambilkan kaos berwarna putih bernomor punggung 4 dengan bertuliskan nama Dickataros dipundaknya. Nama Dickataros adalah pemberian Gita, dia menambahkan kata "Taros" cuma karna dia suka drama Jepang. Bagus bukan, aku merasa sedang berada di Jepang saat bersama Gita, dan di Korea saat bersama Ji. Aku bisa keluar negeri tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun.

Gita mengambil kaosku, dan pergi kekamar mandi, oiya, dia juga tidak lupa meminjam salah satu boxerku. Jeans dia juga lepek. Hujan memandikan kami berdua sepanjang jalan sore ini. Aku kembali menikmati hujan. dan kembali memikirkan Arian, aku merebahkan tubuhku diatas kasurku.

Harusnya malam itu jadi malam yang hebat untuk dua sahabat yang sedang bernostalgia, seperti mengobrol semalam suntuk, atau bertanding PS. Entah kenapa situasi menjadi tegang. Arian memaksaku untuk mencapai Final, sementara aku sendiri belom tau, apa timku ataupun tim Arian bisa mencapai Final. Jika bisa, itu akan jadi ajang pembuktian dariku. Akan aku buktikan, aku tak lagi menjadi bayang-bayang Arian. Aku akan buktikan semua hasil latihanku selama ini pada Arian. Arian bukan cyborg sepak bola, dia pasti bisa kukalahkan. Seperti hari ini Gita mengalahkanku. Dia keluar dari kamar mandi dengan memakai kaos bola punyaku yang panjangnya sepaha dia. Boxerku yang pendek menjadikan dia tampak terlihat tanpa memakai celana pendek. Dan menjadikan dia 2, tidak, ratusan kali lebih sexy.

Gita mengangkat bahunya, mimik mukanya seolah berkata "ada yang salah dengan penampilanku?" Aku menggelengkan kepala sambil berkata "nothing" Belum hilang rasa tegangku melihat Gita hari ini, dia malahan merebahkan kepalanya diatas dadaku. Aku diam tanpa 1 gerakkan apapun. Karna aku takut salah dalam menindak lanjuti gesture tubuh Gita.

Dengan perlahan aku bertanya kepada Gita. "Melihat tingkahmu selama ini, kenapa kita tidak meresmikan hubungan ini, Gita?"

"Kamu nembak aku dengan pistol yang tidak berpeluru. Walaupun kamu kapten tim, tapi kamu masih nothing dimataku, Dicka."

"Apa maksudmu pistol yang tidak berpeluru, kamu terlalu ambigu, Gita."

Gita mengangkat kepalanya dan melihat kearahku. "Jadilah juara 1 diturnamen nanti, dan tembak aku lagi."

"Kamu ingin menjadikan piala sebagai peluru pada pistolku?"

Gita mengangguk, lalu tersenyum. Lalu merebahkan kembali kepalanya didadaku.

10 menit kemudian Gita tertidur pulas sambil memeluk tubuhku. Aku biarkan dia terlarut dalam belaian tanganku pada rambutnya yang mulai mengering. Setelah Arian, ada satu orang lagi yang menaruh harapan besar dipundakku pada turnamen nanti. Akan kukalahkan Arian, dan memenangkan hatimu, Anggita.

-bersambung-




 

Selasa, 13 September 2011

THE RADICKAL (dua)

Aku memutuskan untuk berhenti di shelter berikutnya, dan kembali ke shelter dideket Gramedia tadi. Aku harus memastikan apa yang aku lihat sebelumnya. Apa benar itu Arian? Apa yang dia lakukan disini? Bukankah dia seharusnya masuk kuliah? Aku gak mau mati penasaran seperti difilm-film horor murahan Indonesia. Aku harus memutar balik arah tujuanku.

Harus.

Aku ambil HP ku dari saku celana, dan mencoba menghubungi nomer HP Arian yang sudah tersimpan sejak dia punya HP pertama kali waktu SMP kelas 3 dulu. Aku menelponnya dengan maksud menanyakan apakah benar dia ada di Jogja hari ini. Namun yang mengangkat teleponku seoarang wanita yang absurd, dengan mengatakan "maaf, pulsa anda tidak cukup untuk melakukan panggilan ini." Aku lupa isi pulsa. Salahku karna terlalu memanjakan Arkha dengan melayaninya taruhan setiap maen PS.

Aku turun di Shelter. Dan menunggu bus 3 ribu senang yang mengarah keshelter deket Gramedia. Sambil harap-harap cemas Arian masih ada ditempat yang sama.

Begitu bus tiba, aku bergegas masuk dengan paksa, melanggar aturan "utamakan penumpang yang turun terlebih dahulu." Semua penumpang melihat kearahku sambil mengumpat dengan bahasa Jawa. Aku mengabaikan mereka, karena aku masih gak faseh dalam berbahasa Jawa.

Pak sopir melanjutkan perjalanan dengan mengangkut 4 penumpang dari shelter plus 1 penumpang indisipliner.

Jarak dari shelter aku berhenti ke shelter tempat aku berangkat tidak terlalu jauh, cuma karna busnya harus memutar arah, jadi kelihatan lebih jauh, jarak tempuh kalau saja pak sopir berani mengambil arah yang berlawanan paling sekitar 10 menit. 

Sikapku waktu latihan datang lebih awal, dan pulang paling akhir gak berlaku dalam bus. Aku turun paling pertama, setelah sebelumnya naik paling pertama-juga.

Mataku memburu setiap penumpang yang ada di shelter berharap masih ada Arian disana. Tapi bukan sosok Arian yang ku dapat, melainkan Anggita yang sudah selesai belanja buku.

Gita kaget melihatku yang turun dari bus 3 ribu senang itu.
"Loh, kamu kenapa kesini lagi, Dicka? Ini kan udah pukul 4.30? Kamu bolos latihan?"

"Anu, aku tadi ngeliat kayak ada temenku disni, makanya aku balik lagi."

"Siapa? Arkha?"

"Bukan, temen SMA ku dulu waktu di Jakarta, Arian. Boleh ku pinjam HP mu untuk nelpon, Gita?"

"Kamu gak ada pulsa?"
"Ada, tapi pulsa SMS gak bisa dipake untuk nelpon."

"Cacing kamu terlalu kamu manjakan, Dicka, ini pakailah sesukamu, aku baru isi pulsa tadi malam."

Aku mengambil HP Gita, dan mencontek nomer Arian dari HPku, lalu menelponnya. Nada sambung yang terdengar seperti detak jantung manusia yang lemah mulai terdengar. Angkat Arian, angkat telponnya.

"Halo." Suara Arian yang mengangkat telponku.

"Halo, Arian, ini gue, Dicka."

"Oh, Dicka baru gue mau telpon lo, gue lagi ada di Jogja hari ini. Bisa ketemuan? Kostan lo dimana?"

"Seperti dugaan gue, orang yang tadi gue liat itu emang bener lo, gue ada latihan hari ini, kalo mau kekostan malem aja gimana? Kostan gue gak jauh dari shelter Condong Catur. Nanti lo SMS aja kenomer gue, gue jemput di Shelter."

"Oke, sampai nanti, Dicka."

Telpon dimatikan.

"Bener temen kamu ada disini?" Tanya Gita.

"Iya, dia partnerku waktu aku masih main bola di Jakarta, ini HPmu. Terima kasih ya." jawabku sambil menyerahkan HP Gita.

"Yang sering kamu ceritain itu?"

"Iya, partner terhebatku dalam mengejar mimpi yang seharusnya terwujud."

"Busnya dateng, ayo naik, aku mau liat kamu latihan hari ini, Dicka."

Gita ikut aku latihan, ini yang pertama kalinya, biasanya dia datang cuma saat aku bertanding. Tapi katanya dia lagi senggang jadi ikut aku latihan sekedar untuk membunuh waktu, supaya gak suntuk dikamar kostan sendirian karna Dian - temen satu kamarnya lagi pulang ke Jakarta. 

Hari ini merupakan kali pertamanya juga aku datang telat saat latihan. Aku datang saat rekan-rekan satu tim ku berlari kecil keliling lapangan untuk pemanasan. Pelatih menghampiriku yang lagi sibuk memakai sepatu bola.

"Tumben kamu dateng telat, Dicka, pacaran dulu?" sambil melihat kearah Gita.

"Maaf pak, tadi ada perlu, ketemu temen lama."

"Yasudah, cepat kamu susul teman-temanmu pemanasan ya, hari ini kita ada latihan 5 lawan 5."

"Baik pak!"

Gita duduk di bangku pinggir lapangan sambil membaca salah satu novel yang baru saja dia beli tadi di Gramedia. Oiya, dandanan Gita hari ini sangat cantik, memakai kaos biru yang hampir ngetat, dan memakai celana jeans ketat berwarna hitam. Sesekali dia melihat kearah kami yang latihan sambil senyum tipis.

"Heh, kemana lu, udah gue SMS latian jam 4 juga, jam 5 baru dateng, tumben amat. Kencan lu?" Tanya Arkha yang berlari disampingku.

"Enggak, gue emang ada perlu, tapi gue anter Gita juga sih tadi ke Gramed, sebentar itu juga."

"Duitnya lu bawa gak?"

"Bawa, bawel !"

Arkha tersenyum puas, lalu menambah kecepatan larinya dan meninggalkanku.

Setelah selesai 7 kali keliling lapangan, kami semua berkumpul dipinggir lapangan. Untuk mendengarkan instruksi berikutnya dari pelatih.

"Baiklah, hari ini kita lakukan latihan 5 lawa 5 dengan aturan one touch pass. Untuk tim pertama, Radickal, Radix, Dicka, Arkha, Lucky, dan kiper Ji."

Yosh ! Aku dapet tim yang bagus, kami berlima sudah terbiasa satu tim waktu ada latihan 5 lawan 5. Kami memang mempunyai skill yang diatas rata-rata diantara beberapa pemain dalam tim ini. Kami juga langganan masuk tim inti, cuma cidera yang menghalangi kami tampil, ketika kondisi kami fit 100%, kami yang terbaik.

Tim kedua, yang jadi lawan kami  adalah Firman, Agung, Gatot, Fajar, dan kiper cadangan kami, Bagas. 
Pertandingan 5 lawan 5 pun dimulai, seperti biasanya, kami melakukan passing yang jauh lebih baik, dengan sedikit tipuan-tipuan yang mengecohkan lawan. Kami biasa menyebutnya dengan Tricky Taka. Arkha mengoper bola kepadaku, aku hanya menahan barang 2 detik, dan passing lagi ke Radix, Radix melakukan umpan terobosan langsung dan tajam kearah gawang Bagas, Arkha berlari secepat mungkin untuk mengejar bola. Dengan kecepatan yang dia miliki, bola sekencang, dan setajam apapun akan terlihat mudah untuk dijangkau. Arkha adalah Speed Demon di tim kami. Bola didapat Arkha, dia setengah melompat untuk menghindari tackling Firman, sebelum melepaskan tembakan ketika mendarat dengan apik.

Goal!

Tim kami unggul cepat hanya dengan 2 operan dan 1 umpan terobosan. Gita bertepuk tangan dari sisi lapangan. Pelatih tersenyum puas melihat performa Radickal hari ini.

Firman menguasai bola, lalu mengoper kepada Fajar, dan Fajar melakukan shooting dari jarak yang sangat jauh. Jika Arkha adalah Speed Demon di tim kami, maka Fajar adalah Goal Killer, tendangannya keras, terarah, dan cepat. 

Tendangannya berhasil ditepis oleh Ji. Kiper kami. Aku kaget Ji berani melakukanya, tendanganya pasti sangat menyakitkan untuk tangan sekurus Ji. Aku melihat tangan kanan - yang digunakan untuk menepis bola keras tadi - agak gemetar. Lucky menguasai bola, dan langsung mengoper kearahku, aku tahan sebentar, lalu mengoper kepada Arkha, Arkha mengoper kepada Radix, lalu berlari kemulut gawang. Radix menahan bola dan alih-alih mengoper kepadaku, bukan kearah Arkha. Radix sudah memperhitungkan semuanya, dia sudah berfikir kalau tim Firman cs sudah membaca arah pola serangan kami yang monoton. Arkha gak akan cetak goal kali ini, aku yang akan beraksi. Firman yang terlebih dahulu mengira bola akan diberikan ke Arkha memutar balik langkahnya dan berlari menuju kearahku. Aku mengoper bola kearah Lucky dibelakangku dengan tumit, kemudian berlari menyusul Arkha. 

Agung mengawalku, Lucky memberikan bola kepada kiper, Ji. Lalu Ji melambungkan bola kearah Arkha, Arkha menahan bola dengan dada, kemudian mengoper kepadaku yang berlari disampingnya, namun operannya berhasil dipotong oleh Gatot. Gatot berikan bola kepada Fajar. Radix berlari mengawal Fajar. Namun telat, Fajar terlebih dahulu melambungkan bola kearah Firman yang berada dimulut gawang tim kami. Firman melepaskan tembakan mendatar dengan deras, dan gagal dihalau Ji yang sudah menjatuhkan dirinya.

Kedudukan berimbang 1-1.

Walau Passing Radickal lebih bagus, namun permainan dan fisik anggota tim lain juga gak kalah bagus. Itu yang membuat kami mampu berbicara banyak waktu menjadi juara Tiga se-Jogjakarta kemarin.
Bola dikuasai Radickal, aku dan Radix saling mengoper, walau berdiri ditempat. Radix mengoper bola kepadaku, aku mengembalikannya lagi ketika Firman dan Fajar berlari merebut, begitu seterusnya, kami menghitung jumlah operan kami berdua, ketika hitungan sepuluh, dan bola berada dikakiku, aku langsung kirim umpan lambung dari tengah kepada Arkha yang berlari mirip orang kesetanan. Dengan cepat Arkha menerima umpanku, lalu menceploskan ke gawang Bagas untuk kedua kalinya. Itulah yang kami maksud Tricky Taka.

Pertandingan berakhir, dengan kemenangan Radickal 2-1.

Aku berjalan kepinggir lapangan menuju Gita yang daritadi menyaksikan kami latihan. Gita menyerahkan botol Aqua 1 liter untukku. Aku meminumnya sambil duduk Ngaso. Latihan 5 lawan 5 adalah latihan paling melelahkan. Arkha menghampiri kami berdua. Sementara pelatih sedang mengutus 10 nama berikutnya yang akan bertanding.

"Bagi dong aernya." Pinta Arkha.

Aku mengabulkan permintaannya tanpa sepatah kata.

"Gimana gol gue tadi, Gita?" Tanya Arkha sesaat sebelum meneguk air.

"Mmmm, lumayan, lari lo kenceng juga yah, kribo. Tapi gol terakhir kan dari opera si Dicka yang pas."

"Ah, lo mah Dicka mulu yang diliatin, eh Dian kemana? Kenapa gak lo ajak nonton?"

"Dian pulang keJakarta dari kemaren kan, tadi juga gak masuk kelas. Sama kayak kalian berdua."

"Wah, kapan-kapan ajak dia dong, pasti latian gue semangat deh."

"Iya, kapan-kapan yaa."

Aku masih terduduk sambil menselonjorkan kaki-kaki ku yang berkerja keras seperti biasanya. Sambil melihat tim selanjutnya bertanding. Mereka rata-rata pemain cadangan, namun gak kalah bagus, dengan tim utama. Ji dan Bagas main lagi dipertandingan kali ini, karna mereka berdua kiper. Ji melakukan penyelamatan gemilang, gak salah nomer punggung 1 menjadi miliknya, sementara Bagas, juga lumayan, hanya 1 tingkat di bawah Ji. Tidak seperti biasanya, aku gak bersemangat sekali latihan hari ini, mungkin aku ingin buru-buru pulang dan bertemu partner terhebatku dulu, Arian.

Arkha menjadi tandemku saat ini, dia cepat, tapi tidak sekomplit Arian. Arkha menjadi Top Scorer pada Turnamen se-Jogjakarta berkat Assist dariku dan Radix. bahkan Fajar yang notabene Striker murni dan punya fisik yang jauh lebih Atletis dan mempunyai tendangan paling keras se-Turnamen hanya mampu berada diperingkat ketiga daftar Top Scorer.

Aku menjadi Pemain tengah bersama Radix, dulu posisiku adalah Striker bersama Arian. Kami selalu mencetak goal setiap pertandingan. Dia tandem terhebatku sampai saat ini. Dan yang paling penting, dia ada disini sekarang, aku belum pernah bertemu dengannya lagi semenjak Arian pindah klub, dan aku kuliah di Jogjakarta. 

Aku ingin buru-buru menyelesaikan latihan hari ini rasanya.

"Oiya, menurut lo gimana sama tendangan si Fajar tadi, Dick?" Tanya Arkha kepadaku.

"Itu tendangan edan, kenapa si Ji nepis tendangan Fajar ya?"

"Simple, Ji orang yang total walau lagi latihan."

"Iya juga sih, tapi tetep aja, kalo terlalu memaksakan bisa cidera, apalagi turnamen sebentar lagi."

"Entah apa yang ada dipikiran Ji." 

"Hari ini kamu jadi jemput Arian, Dicka?" Tanya Gita.

"Iya, jadi kok, Gita."

"Arian? Temen satu tim lo dulu waktu SMA yang sering lo ceritain itu?"

"Iya, dia ada disini hari ini."

"Ngapain?"

"Gue gak tau, dan kayaknya gue pamit duluan deh latihan kali ini." Kataku sambil bangkit dari duduk dan berjalan kearah pelatih.

Sambil setengah berbisik aku mengatakan alasanku kepada pelatih, pelatih terdiam sebentar sebelum mengizinkanku angkat kaki lebih dulu untuk latihan kali ini. Sikapku yang gak pernah neko-neko selama latihan mempermudah langkahku untuk meminta izin.

Aku pergi mandi. Setelah selesai, aku mengajak Gita pulang bersamaku. Aku antar dia terlebih dahulu kekostannya walau dia sempat menolak, dan ingin bertemu dengan Arian. Tapi aku mengatakan kalau aku hanya ingin bertemu 4 mata dulu, baru besok aku kenalkan dia kepada Arian. Lagipula sudah malam, dengan cemberut manja, dia meng-iyakan perintahku. Aku mengelus rambutnya.

Setelah tiba di Shelter dekat kostanku, aku SMS Arian untuk menanyakan posisinya dimana. Dia membalas, ternyata dia sedang membeli beberapa snack di mini market diseberang Shelter. Gak lama, aku melihat sosok yang aku kenal berjalan kearahku. Arian melambaikan tanganya dan menghampiriku. 

Nostalgia.

Sudah lama sekali aku tidak berjumpa dengannya. Teman yang selalu menghiburku ketika cintaku ditolak oleh beberapa wanita yang aku suka, teman terhebatku dalam sepak bola, dan teman terbaikku sampai saat ini.

"Apa kabar lo?" Tanya Arian.

"Baik, lo gimana? Gemukkan lo sekarang."

"Iya, kalo kurus, kaki gue udah pasti patah kena tackle-tackle sadis diliga mahasiswa di Jakarta."

Nostalgia sekali.

Obrolan kecil dan tawa jadi menu kami berdua sambil berjalan kearah kostanku. Kami berdua berjalan menembus malam. Ketika sampai dikostanku, Arian kaget, karna kostanku terlalu rapih untuk seukuran cowok begajulan sepertiku. Dia gak tau, kalo tadi sore sebelum berangkat ada wanita cantik yang merapihkannya, Anggita.

"Masih demen MU (Manchester United) juga lo?" Kata Arian sambil melihat setumpuk majalah Inside United milikku.

"Masih lah, kalo dada gue di belah, ada logo MU-nya nih Yan."

Kami berdua tertawa, lelucon sederhana mampu membangkitkan selera humor yang berlebihan terhadap dua orang sahabat yang sudah lama tidak bertemu.

"Gimana karir lo, Dick?"

"Smester kemaren, tim sepak bola kampus gue juara tiga se-Jogjakarta, Yan."

"Lumayanlah, lo maen diposisi Striker lagi?"

"Enggak, gue sekarang Midfielder."

"Wah turun pangkat gitu lo jadinya, hahaha."

"Posisi boleh turun, tapi jabatan naek, gue kapten tim, Yan. Hahaha."

"Bagus, bagus." Arian berjalan kedepan Tv, dan melihat fotoku bersama Radickal. "Temen-temen lo banyak ya disini." Lanjut Arian.

"Ya begitulah, yang difoto itu, hampir tiap hari dateng kekostan gue cuma buat maen PS."

"Sekarang mereka gak dateng?"

"Belom tau, agak malem biasanya kalo dateng juga, eh lo tidur dimana?"

"Di penginapan, didaerah Malioboro, bareng temen gue."

"Yah, tidur disini aja, nanti gue kenalin sama temen-temen gue."

"Telat, gue udah bayar penginapannya."

"Kesini dalam rangka apa lo, Yan?" Tanya gue sambil menyuguhkan teh manis hangat.

"Maen aja, gue sekalian mau tau kabar lo, semenjak lo kirim surat galau waktu itu."

"Hahahaha, masih aje dibahas."

"Denger, Dicka. Berusahalah tampil di final pada turnamen nanti."

Aku terdiam, dan kaget Arian ngomong gitu dengan tiba-tiba.

"Ada juga lo yang berusaha, Yan. Hahaha." Aku menanggapi pernyataan Arian dengan tidak serius.

"Gue serius, karna dengan mencapai final, gue punya kesempatan bertanding lawan lo, untuk pertama kalinya, Dicka."

"Oke, tenang aja, yang jelas tim kampus gue akan jadi juara kali ini."

"Bermimpilah dengan tinggi, sebelum akhirnya gue jatuhkan nantinya"

Aku kembali terdiam, arah pembicaraan menjadi serius. Arian jauh-jauh ke Jogja cuma untuk menyampaikan permintaan sekaligus peringatan. Gak lama dia pamit kembali kepenginapannya, karna gak enak sama temennya yang udah nunggu daritadi. Arian menyalamiku, aku mengantarnya sampai depan pintu. Aku terkejut dengan kehadiran Arkha yang berdiri didepan pintuku yang tertutup. Dia pasti dengar semua pembicaraanku dengan Arian. Raut wajahnya penuh kebencian saat menatap Arian. Aku mengenalkan Arkha kepada Arian. Arian menyalami Arkha sambil berbisik "berusahalah" sebelum meninggalkan aku dan Arkha dengan senyuman meremehkan.

Aku mempersilahkan Arkha masuk seperti biasa dengan keadaan yang tidak biasa, kami berdua terdiam. Cuma kata "berusahalah" dari Arian tadi yang (mungkin) ada dalam pikiran kami.

"Itu tadi temen terhebat lo, Dicka?" Tanya Arkha memecah kebuntuan.

"Iya, itu dia. Arian."

"Menarik, kita lihat sampai dimana timnya bisa bicara. Gue balik ah." Arkha bangkit dari duduknya.

Aku kembali mengantar tamuku sampai depan pintu. Lalu merebahkan badanku diatas kasur. Arian sangat berambisi bertanding denganku. Aku menghela nafas. Nada SMS berdering dari HPku. 

Gita SMS.

"Jangan main PS lagi malam ini, oiya kenalkan Arian padaku besok setelah pulang kampus ya, nite Dicka :)"

Aku gak bales SMS Gita, aku pejamkan kedua mataku yang lelah namun bingung ini. Sampai pada akhirnya aku benar-benar terlelap.

-bersambung-




Senin, 12 September 2011

THE RADICKAL (satu)

Sebelum baca postingan ini, ada baiknya kalian baca "bait pertama" tulisan sebelumnya yang judulnya "Pasang Surut Persahabatan" bisa dibaca -> CLICK karna postingan cerita ini sengaja dibuat untuk melanjutkan cerita tersebut. :)

******************

Aku bangun kesiangan (lagi) untuk hari ini, ah malas sekali rasanya pergi kekampus, mengingat jam mata kuliah yang kedua-dan yang terakhir hari ini akan berakhir tanpa perpanjangan waktu. Jam dikostan ku padahal sudah kulebihkan 10 menit, supaya aku bisa buru-buru, tapi ya, karna aku udah sadar itu jam kecepetan, aku malah memperlambat usahaku melepaskan diri dari jeratan kasur 10 menit lebih lambat.

Andai saja ada extra time dalam kuliah seperti layaknya bermain sepak bola.

Langkah suara kaki mendekati pintu kamar kostanku. Gak lama suara pintu yang diketuk menyusul dibelakangnya. Feelingku, paling si Arkha yang ikutan cabut kuliah karna kesiangan dan mau numpang tidur dikamarku, maklum, kami bermain PS sepak bola dikamarku sampai jam 3 pagi tadi malam. Aku malas bergegas membuka pintunya.

"Tok..Tok..Tok.."

"Dicka, kamu masih tidur?"

Loh, suara Arkha kok malah jadi merdu begini, apa dia sakit tenggorokkan dan mengakibatkan suaranya jadi mirip suara wanita yang biasa aku kenal. Anggita.

"Dicka bangun, mau sampe kapan kamu bikin pulau diatas bantal bulukmu itu?"

"Aaaah, iyaaa, iyaaaaa, aku udah bangun, sebentar, cuci muka dulu." Jawabku setengah mengeluh.

Aku berjalan sempoyongan kekamar mandi, setelah sebelumnya berdiri cukup lama, menstabilkan pandanganku yang menjadi remang-remang. Penyakit darah rendah yang aku derita sejak SMA menyuruhku melakukan ritual berdiam diri setengah membungkuk setiap aku bangun dari tidur.

Setelah pandangan kembali normal, aku melanjutkan langkah malasku kekamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi, aku gak akan melakukan pekerjaan ini kalo yang dateng si Arkha dan temen-temen tim sepak bola kampus yang lain. Tapi berhubung yang dateng bidadari dari kota Bandung, aku harus bisa tampil oke walau belom mandi sama sekali.

Aku membuka pintu sambil mengusap mukaku yang basah dengan handuk.

"Pagi, sayang." Sapaku penuh senyum yang kubuat-buat supaya manis terlihat.

"Jangan pernah panggil aku sayang sebelum kamu bener-bener bersihkan sisa sabun muka dilehermu, dan satu lagi, ini udah siang, Dicka."

Aku mengelap sisa sabun muka yang masih tersisa dengan handuk sambil tersenyum nista.

"Kamu kenapa gak masuk kuliah hari ini?"

"Aku kesiangan, Gita."

"Aku udah tau, tapi pasti ada alasan yang lebih spesifik yang bisa kamu jadikan pembelaan diri, Dicka."

"Aku maen PS sama Arkha sampe jam 3 subuh tadi malam."

"Bukannya kamu bilang udah mau tidur dari jam 11?"

"Iya, seharusnya, sebelum Arkha dateng kesini dan nantang maen PS, kamu tau kan, harga diriku akan terancam kalo aku gak melayani?"

"Alasan, ini makan! Pasti kamu belum sarapan plus makan siang." Gita menyerahkan roti sobek yang diambil dari tasnya.

"Terima kasih sayang."

"Jangan panggil aku sayang!" Protes Gita sambil cemberut manja.

Anggita, atau Gita adalah gadis yang satu kelas denganku, perawakannya sempurna (setidaknya dari pandangan mataku) berkulit putih khas Mojang Bandung, bermata segaris kalo lagi tersenyum, rambutnya juga seperti rambut Dian Sastro di iklan-iklan Shampo. Kami gak jadian tapi hubungan kami dan kedekatan kami udah kayak orang pacaran. Perhatian yang dia berikan kepadaku sama sekali gak masuk akal dengan penolakkan dia terhadap rasa cintaku. Aku udah nembak dia dari smester 3 dia selalu menolak, mungkin karna aku menembaknya dengan pistol yang gak berpeluru. Jadi gak bisa menembus hatinya. At least kayak gini juga gak apa-apa sih, sama aja kayak pacaran, bedanya gada status in relationship with Anggita Eka Putri di FB ku.

Anggita tidur dikasurku sambil membaca majalah HAI. Sementara aku masih lahap memakan Roti yang dia berikan sambil sesekali mengecek HP, takut kalau-kalau ada SMS dari pelatih untuk latihan dadakan, mengingat Turnamen Sepak Bola antar kampus se-Pulau Jawa akan diadakan dalam kurun waktu yang kurang dari sebulan. Rasa laparku membuatku tampak barbar dalam menyantap roti halus ini. Maklum, cacing diperutku terpaksa harus menjamak porsi makannya, dan menyatukan sarapan dengan makan siang. Hidupku memang berantakan sekali semenjak memasuki smester 5 ini.

Berantakkannya hidupku di kostan gak berpengaruh dengan hidupku dilapangan, aku adalah salah satu pemain yang paling dekat dengan pelatih sepak bola dikampusku, selain aku kapten tim, aku juga menjadi satu-satunya pemain yang latihan datang lebih awal, dan pulang paling akhir. Semua kulakukan, meningkatkan disiplinku dalam latihan, berkeringat lebih banyak dibanding rekan satu tim yang lain, cuma untuk satu tujuan, mengalahkan Arian di Turnamen nanti.

"Dicka, kamu ada latian gak hari ini?" Tanya Gita.

"Mmmm, belom tau, emang kenapa, Gita?"

"Aku mau keGramedia, dan gada yang nemenin."

"Kamu memintaku untuk kencan?"

"NE-ME-NIN, bukan kencan, Dicka!"

"Ya apalah itu namanya, emang Dian kemana?"

"Loh, kamu emang gak tau, Dian lagi pulang keJakarta, Adenya lagi dirawat."

"Aku jarang nonton tv, jadi gak tau."

"Alasan yang bagus, sekaligus terbodoh, mau yaa nemenin aku?"

Suara Gita yang manja yang kaya gini yang aku suka, mana ada kucing yang nolak diajak kawin, #eh, apalah pokoknya mirip kaya gitulah. Aku meng-iyakan dengan satu syarat, Gita harus rela aku tinggal sendirian kalo aku ada latihan mendadak hari ini. Gita balik meng-iyakan, dan menyuruh aku untuk melakukan pekerjaan terberat kedua ketika gak masuk kuliah karna kesiangan. Mandi.

Walau gak pacaran, tapi Gita adalah orang kedua yang selalu men-supportku untuk bermain sepak bola. Orang pertama tentu saja ayahku, beliau selalu menontonku bertanding waktu aku masih di Jakarta dulu, dan menyaksikan aku merayakan kemenangan, dan kepedihan kekalahan dengan Arian, teman satu tim ku, waktu itu.

Awal kedekatanku dengan Gita, terjadi ketika dia tau kalo aku juga penggemar Klub Manchester United. Dia senang berada dikamar kostku, tidur diatas kasurku dan memandang poster logo The Red Devils yang aku tempel tepat diatas kasurku, dilangit-langit kamarku. Kami jadi semakin dekat ketika dia tau aku adalah kapten tim sepak bola dikampusnya, yang mengantar kampus meraih juara ke-Tiga se Jogjakarta. Gita suka laki-laki pemain sepak bola, tapi tidak menerima cintaku. Semua begitu cepat, tapi aku menikmatinya hingga semua terasa begitu lambat.

Aku keluar kamar mandi sambil mengusap-usap rambutku dengan handuk, dan masih bertelanjang dada. Sementara Gita sibuk meng-obrak-abrik laci majalahku.

"Kamu gak beli majalah Inside United bulan ini, Dicka?"

Majalah Inside United adalah majalah panduan bulanan untuk penggemar Manchester United, dan aku memang mengoleksi walau ada 1 atau 2 edisi yang terlewat.

"Belom, aku lagi bokek bulan ini."

"Ngapain aja sih kamu?"

"Porsi latihan kan jadi ditambah, otomatis jatah makan cacing diperutku juga bertambah sebelum mereka ngamuk dan dugem diperutku."

"Lebay, nanti di Gramed aku beliin deh."

"Terima kasih, sayang."

Gita melemparku dengan guling.

Jam 3 sore, matahari masih ngobral panasnya sampe 75% di kota Jogja. Tapi gak menghalangi keinginan Gita buat nyeret aku ke Gramedia bareng dia. Gita sedang duduk manis didepanku, didalam Trans Jogja. Atau biasa kusebut dengan Bus 3ribu senang.

Begitu sampai di Shelter atau halte terdekat Gramedia, kami gak langsung masuk, kami membeli teh botol terlebih dahulu untuk sekedar menghilangkan dahaga. Lagi-lagi dompetku sulit dikeluarkan, sehingga Gita yang nyerahin uang 5ribu kepada abangnya.

"Gak usah pura-pura, simpan uangmu untuk cacing diperutmu, Dicka."

"Hehe, terima kasih.." Gita melirik tajam. "Gita" kemudian tersenyum.

Bener aja, begitu sampe di Gramed Gita langsung berburu ketempat majalah, dan mengambilkan majalah Inside United untuk edisi bulan ini buatku, kemudian dia banting stir kearah rak buku Roman. Lalu belok lagi ke arah rak buku Novel. Baru kali ini aku kenal sama cewek yang hobinya shopping buku.Gita senang membaca, gak aneh kalo dia pakai kacamata, entah kenapa, orang yang suka baca identik dengan kacamata.

Aku masih berdiri di rak Komik, sambil sesekali memantau pergerakkan Gita. Ada getaran disaku celanaku saat aku membaca bagian detektif yang sedang ditembak. Arkha SMS, dia bilang ada latihan jam 4 sore ini. Dan gak lupa menyuruhku membawa uang kalah taruhan maen PS sepak bola tadi malem. SMSnya aku apus, Gita gak boleh tau kalo uangku abis buat taruhan. Walau dia bukan pacarku, ada baiknya aku menyelamatkan diriku terlebih dahulu.

Aku tutup komiknya karna detektifnya mati ketembak. Seharusnya Detektifnya bisa menghindar, kalo aja aku gak kelamaan baca dan bales SMS Arkha.

Aku berjalan menghampiri Gita.

"Arkha SMS, ada latian jam 4 ini."

"Loh, sekarang udah jam 4, Dicka."

"Makanya aku harus buru-buru."

"Perlengakapan kamu gimana? Sepatu bola dan kaus latian?"

"Tenang, aku taro diloker ruang meeting tim kok, aku duluan gak apa-apa?"

"Yaudah gak apa-apa, ini resiko aku kok, sini majalahnya, nanti malam setelah latihan kamu ambil dikostanku."

Aku menyerahkan majalah yang mendadak beranak mengeluarkan komik "SHOOT!"

"Aku cuma berjanji beliin kamu majalah, kenapa jadi beranak-pinak, Dicka?"

"Cacing diperutku juga terancam mati kalo aku juga gak punya komik ini, Gita, aku duluan ya."

"Dasar, iyaa hati-hati yaa."

Aku berlari keluar Gramedia dan duduk anteng di Shelter. Aku melirik jam di hape sesekali, untuk memastikan aku gak telat latihan, walau percuma, karna aku akan tetap jadi yang pertama dateng, Arkha udah biasa ngabarin 1/2 jam lebih awal sebelum latian, dengan tujuan aku gak tidur lagi dikostan. Arkha malas kalo harus nyamper kekostanku dan membangunkan macan tidur.

Trans Jogja yang mengarah ke kampusku dateng, agak penuh, tapi kupaksakan naik. Aku berdiri. Saat Trans Jogja perlahan meninggalkan shelter. Sesaat, mataku terkejut dengan sosok yang aku lihat dishelter tempatku menunggu tadi.

"Itu kan.. Arian.."

-bersambung-


My Blog List

Recent Posts

Recent Comments