Senin, 12 September 2011

THE RADICKAL (satu)

Sebelum baca postingan ini, ada baiknya kalian baca "bait pertama" tulisan sebelumnya yang judulnya "Pasang Surut Persahabatan" bisa dibaca -> CLICK karna postingan cerita ini sengaja dibuat untuk melanjutkan cerita tersebut. :)

******************

Aku bangun kesiangan (lagi) untuk hari ini, ah malas sekali rasanya pergi kekampus, mengingat jam mata kuliah yang kedua-dan yang terakhir hari ini akan berakhir tanpa perpanjangan waktu. Jam dikostan ku padahal sudah kulebihkan 10 menit, supaya aku bisa buru-buru, tapi ya, karna aku udah sadar itu jam kecepetan, aku malah memperlambat usahaku melepaskan diri dari jeratan kasur 10 menit lebih lambat.

Andai saja ada extra time dalam kuliah seperti layaknya bermain sepak bola.

Langkah suara kaki mendekati pintu kamar kostanku. Gak lama suara pintu yang diketuk menyusul dibelakangnya. Feelingku, paling si Arkha yang ikutan cabut kuliah karna kesiangan dan mau numpang tidur dikamarku, maklum, kami bermain PS sepak bola dikamarku sampai jam 3 pagi tadi malam. Aku malas bergegas membuka pintunya.

"Tok..Tok..Tok.."

"Dicka, kamu masih tidur?"

Loh, suara Arkha kok malah jadi merdu begini, apa dia sakit tenggorokkan dan mengakibatkan suaranya jadi mirip suara wanita yang biasa aku kenal. Anggita.

"Dicka bangun, mau sampe kapan kamu bikin pulau diatas bantal bulukmu itu?"

"Aaaah, iyaaa, iyaaaaa, aku udah bangun, sebentar, cuci muka dulu." Jawabku setengah mengeluh.

Aku berjalan sempoyongan kekamar mandi, setelah sebelumnya berdiri cukup lama, menstabilkan pandanganku yang menjadi remang-remang. Penyakit darah rendah yang aku derita sejak SMA menyuruhku melakukan ritual berdiam diri setengah membungkuk setiap aku bangun dari tidur.

Setelah pandangan kembali normal, aku melanjutkan langkah malasku kekamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi, aku gak akan melakukan pekerjaan ini kalo yang dateng si Arkha dan temen-temen tim sepak bola kampus yang lain. Tapi berhubung yang dateng bidadari dari kota Bandung, aku harus bisa tampil oke walau belom mandi sama sekali.

Aku membuka pintu sambil mengusap mukaku yang basah dengan handuk.

"Pagi, sayang." Sapaku penuh senyum yang kubuat-buat supaya manis terlihat.

"Jangan pernah panggil aku sayang sebelum kamu bener-bener bersihkan sisa sabun muka dilehermu, dan satu lagi, ini udah siang, Dicka."

Aku mengelap sisa sabun muka yang masih tersisa dengan handuk sambil tersenyum nista.

"Kamu kenapa gak masuk kuliah hari ini?"

"Aku kesiangan, Gita."

"Aku udah tau, tapi pasti ada alasan yang lebih spesifik yang bisa kamu jadikan pembelaan diri, Dicka."

"Aku maen PS sama Arkha sampe jam 3 subuh tadi malam."

"Bukannya kamu bilang udah mau tidur dari jam 11?"

"Iya, seharusnya, sebelum Arkha dateng kesini dan nantang maen PS, kamu tau kan, harga diriku akan terancam kalo aku gak melayani?"

"Alasan, ini makan! Pasti kamu belum sarapan plus makan siang." Gita menyerahkan roti sobek yang diambil dari tasnya.

"Terima kasih sayang."

"Jangan panggil aku sayang!" Protes Gita sambil cemberut manja.

Anggita, atau Gita adalah gadis yang satu kelas denganku, perawakannya sempurna (setidaknya dari pandangan mataku) berkulit putih khas Mojang Bandung, bermata segaris kalo lagi tersenyum, rambutnya juga seperti rambut Dian Sastro di iklan-iklan Shampo. Kami gak jadian tapi hubungan kami dan kedekatan kami udah kayak orang pacaran. Perhatian yang dia berikan kepadaku sama sekali gak masuk akal dengan penolakkan dia terhadap rasa cintaku. Aku udah nembak dia dari smester 3 dia selalu menolak, mungkin karna aku menembaknya dengan pistol yang gak berpeluru. Jadi gak bisa menembus hatinya. At least kayak gini juga gak apa-apa sih, sama aja kayak pacaran, bedanya gada status in relationship with Anggita Eka Putri di FB ku.

Anggita tidur dikasurku sambil membaca majalah HAI. Sementara aku masih lahap memakan Roti yang dia berikan sambil sesekali mengecek HP, takut kalau-kalau ada SMS dari pelatih untuk latihan dadakan, mengingat Turnamen Sepak Bola antar kampus se-Pulau Jawa akan diadakan dalam kurun waktu yang kurang dari sebulan. Rasa laparku membuatku tampak barbar dalam menyantap roti halus ini. Maklum, cacing diperutku terpaksa harus menjamak porsi makannya, dan menyatukan sarapan dengan makan siang. Hidupku memang berantakan sekali semenjak memasuki smester 5 ini.

Berantakkannya hidupku di kostan gak berpengaruh dengan hidupku dilapangan, aku adalah salah satu pemain yang paling dekat dengan pelatih sepak bola dikampusku, selain aku kapten tim, aku juga menjadi satu-satunya pemain yang latihan datang lebih awal, dan pulang paling akhir. Semua kulakukan, meningkatkan disiplinku dalam latihan, berkeringat lebih banyak dibanding rekan satu tim yang lain, cuma untuk satu tujuan, mengalahkan Arian di Turnamen nanti.

"Dicka, kamu ada latian gak hari ini?" Tanya Gita.

"Mmmm, belom tau, emang kenapa, Gita?"

"Aku mau keGramedia, dan gada yang nemenin."

"Kamu memintaku untuk kencan?"

"NE-ME-NIN, bukan kencan, Dicka!"

"Ya apalah itu namanya, emang Dian kemana?"

"Loh, kamu emang gak tau, Dian lagi pulang keJakarta, Adenya lagi dirawat."

"Aku jarang nonton tv, jadi gak tau."

"Alasan yang bagus, sekaligus terbodoh, mau yaa nemenin aku?"

Suara Gita yang manja yang kaya gini yang aku suka, mana ada kucing yang nolak diajak kawin, #eh, apalah pokoknya mirip kaya gitulah. Aku meng-iyakan dengan satu syarat, Gita harus rela aku tinggal sendirian kalo aku ada latihan mendadak hari ini. Gita balik meng-iyakan, dan menyuruh aku untuk melakukan pekerjaan terberat kedua ketika gak masuk kuliah karna kesiangan. Mandi.

Walau gak pacaran, tapi Gita adalah orang kedua yang selalu men-supportku untuk bermain sepak bola. Orang pertama tentu saja ayahku, beliau selalu menontonku bertanding waktu aku masih di Jakarta dulu, dan menyaksikan aku merayakan kemenangan, dan kepedihan kekalahan dengan Arian, teman satu tim ku, waktu itu.

Awal kedekatanku dengan Gita, terjadi ketika dia tau kalo aku juga penggemar Klub Manchester United. Dia senang berada dikamar kostku, tidur diatas kasurku dan memandang poster logo The Red Devils yang aku tempel tepat diatas kasurku, dilangit-langit kamarku. Kami jadi semakin dekat ketika dia tau aku adalah kapten tim sepak bola dikampusnya, yang mengantar kampus meraih juara ke-Tiga se Jogjakarta. Gita suka laki-laki pemain sepak bola, tapi tidak menerima cintaku. Semua begitu cepat, tapi aku menikmatinya hingga semua terasa begitu lambat.

Aku keluar kamar mandi sambil mengusap-usap rambutku dengan handuk, dan masih bertelanjang dada. Sementara Gita sibuk meng-obrak-abrik laci majalahku.

"Kamu gak beli majalah Inside United bulan ini, Dicka?"

Majalah Inside United adalah majalah panduan bulanan untuk penggemar Manchester United, dan aku memang mengoleksi walau ada 1 atau 2 edisi yang terlewat.

"Belom, aku lagi bokek bulan ini."

"Ngapain aja sih kamu?"

"Porsi latihan kan jadi ditambah, otomatis jatah makan cacing diperutku juga bertambah sebelum mereka ngamuk dan dugem diperutku."

"Lebay, nanti di Gramed aku beliin deh."

"Terima kasih, sayang."

Gita melemparku dengan guling.

Jam 3 sore, matahari masih ngobral panasnya sampe 75% di kota Jogja. Tapi gak menghalangi keinginan Gita buat nyeret aku ke Gramedia bareng dia. Gita sedang duduk manis didepanku, didalam Trans Jogja. Atau biasa kusebut dengan Bus 3ribu senang.

Begitu sampai di Shelter atau halte terdekat Gramedia, kami gak langsung masuk, kami membeli teh botol terlebih dahulu untuk sekedar menghilangkan dahaga. Lagi-lagi dompetku sulit dikeluarkan, sehingga Gita yang nyerahin uang 5ribu kepada abangnya.

"Gak usah pura-pura, simpan uangmu untuk cacing diperutmu, Dicka."

"Hehe, terima kasih.." Gita melirik tajam. "Gita" kemudian tersenyum.

Bener aja, begitu sampe di Gramed Gita langsung berburu ketempat majalah, dan mengambilkan majalah Inside United untuk edisi bulan ini buatku, kemudian dia banting stir kearah rak buku Roman. Lalu belok lagi ke arah rak buku Novel. Baru kali ini aku kenal sama cewek yang hobinya shopping buku.Gita senang membaca, gak aneh kalo dia pakai kacamata, entah kenapa, orang yang suka baca identik dengan kacamata.

Aku masih berdiri di rak Komik, sambil sesekali memantau pergerakkan Gita. Ada getaran disaku celanaku saat aku membaca bagian detektif yang sedang ditembak. Arkha SMS, dia bilang ada latihan jam 4 sore ini. Dan gak lupa menyuruhku membawa uang kalah taruhan maen PS sepak bola tadi malem. SMSnya aku apus, Gita gak boleh tau kalo uangku abis buat taruhan. Walau dia bukan pacarku, ada baiknya aku menyelamatkan diriku terlebih dahulu.

Aku tutup komiknya karna detektifnya mati ketembak. Seharusnya Detektifnya bisa menghindar, kalo aja aku gak kelamaan baca dan bales SMS Arkha.

Aku berjalan menghampiri Gita.

"Arkha SMS, ada latian jam 4 ini."

"Loh, sekarang udah jam 4, Dicka."

"Makanya aku harus buru-buru."

"Perlengakapan kamu gimana? Sepatu bola dan kaus latian?"

"Tenang, aku taro diloker ruang meeting tim kok, aku duluan gak apa-apa?"

"Yaudah gak apa-apa, ini resiko aku kok, sini majalahnya, nanti malam setelah latihan kamu ambil dikostanku."

Aku menyerahkan majalah yang mendadak beranak mengeluarkan komik "SHOOT!"

"Aku cuma berjanji beliin kamu majalah, kenapa jadi beranak-pinak, Dicka?"

"Cacing diperutku juga terancam mati kalo aku juga gak punya komik ini, Gita, aku duluan ya."

"Dasar, iyaa hati-hati yaa."

Aku berlari keluar Gramedia dan duduk anteng di Shelter. Aku melirik jam di hape sesekali, untuk memastikan aku gak telat latihan, walau percuma, karna aku akan tetap jadi yang pertama dateng, Arkha udah biasa ngabarin 1/2 jam lebih awal sebelum latian, dengan tujuan aku gak tidur lagi dikostan. Arkha malas kalo harus nyamper kekostanku dan membangunkan macan tidur.

Trans Jogja yang mengarah ke kampusku dateng, agak penuh, tapi kupaksakan naik. Aku berdiri. Saat Trans Jogja perlahan meninggalkan shelter. Sesaat, mataku terkejut dengan sosok yang aku lihat dishelter tempatku menunggu tadi.

"Itu kan.. Arian.."

-bersambung-


My Blog List

Recent Posts

Recent Comments