Sabtu, 17 September 2011

THE RADICKAL (tiga)

Hari ini aku bersahabat dengan pagi, mata kuliah Bahasa Inggris Bisnis 2 akan menjadi sarapan cacing-cacning diperutku pagi ini. Aku gak kesiangan. Dan langit pun terharu sampai menitikkan air matanya. 

"Sial, giliran bangun pagi, malah gerimis begini." Gerutu ku sambil sikat gigi diteras kostan.

Dari atas kasur HP ku berdering, ini adalah deringan yang ketiga kali dengan nada yang sama. Nada SMS. Aku adalah orang yang malas ngecek HP kalo bangun kepagian, karna aku sudah hafal betul siapa dan apa isi SMSnya.

Prediksi SMS pertama, SMS dari Mojang Bandung 2006, Anggita. Yang paling-paling menanyakan keberadaanku dimana dan menyuruhku kuliah pagi ini. Seperti biasa.

Prediksi SMS kedua, salah satu dari rekan satu tim ku yang ngingetin latihan dimajukan pukul 3 sore, karna pelatihku mau berangkat ke Jakarta. Aku sudah tau berita itu dari Arkha tadi malam, sebelum pamit pulang.

Prediksi SMS ketiga, operator yang menjelaskan promosi gono-gini nya. 

Setelah selesai bersikat gigi, aku kembali kekamar mandi untuk berkumur-kumur, aku bisa aja kumur-kumur pake air hujan, tapi itu cuma dilakukan dalam keadaan krisis air dikostanku. Aku biasa menyebutnya misi bertahan hidup, bersih.

Kuliah pagi ini baru akan dimulai 1 jam lagi, dengan letak kostanku yang berada di gang seberang kampus, aku cuma butuh waktu 2 menit untuk mendarat disana. Aku putuskan kembali bermalas-malasan dikasur. Sebentar aja, pikiranku mulai berkhayal. Khayalan pagi dengan keadaan hujan yang rintik gak sehebat biasanya, gak ada Maria Ozawa, atau Sora Aoi dalam khayalanku kali ini. Aku cuma terus mengingat kejadian tadi malam, waktu Arian datang kekostanku, dan memintaku untuk bertanding dengannya di Final Turnamen nanti. 

Aku menghela nafas.

Tim sepak bola kampusku adalah terbaik ke tiga se-Jogjakarta. Harusnya aku optimis bisa mengabulkan permintaan Arian. Tapi aku gak boleh menganggap remeh 16 tim yang lolos kualifikasi untuk mengikuti turnamen ini. Semenjak aku kuliah disini, aku buta dengan gaya permainan sepak bola Arian. Pikirku, dia pasti jauh lebih jago dari masa SMA dulu apalagi dia sudah direkrut klub lain yang lebih "layak" waktu itu.

Aku kembali menghela nafas.

HP ku berbunyi (lagi) kali ini nada telepon. Anggita sudah mulai bawel, mungkin pikirnya aku belum bangun. Aku menekan tombol gagang telepon berwarna hijau di HP ku.

"Halo?!" Suara Gita diseberang sana.

"Hmmmm."
"Kamu tumben bangun jam segini, Dicka?"

"Aku kebangun."

"Udah mandi?"

"Udah kok, kamu?"

"Udah dari subuh tadi, yaudah cepetan siap-siap kekampus sana."

"Hmmmm."

"Sampe ketemu dipelajaran Mrs. Lidya, kapten."

"Hmmmm."

Alarm (baca : Anggita) sudah bawel, aku bergegas siap-siap kekampus, tapi hujan begini lebih enak tidur. Kalau saja gak ada kuis, aku pasti sudah bersama Maria Ozawa dan Sora Aoi pagi ini. Aku berangkat kuliah.

Dengan modal lari-lari kecil dan bertudung tas slempangku, aku berhasil mendarat dikampus dengan selamat dan basah. Sebetulnya ada payung Anggita dikostan, tapi aku malas memakainya, serasa kurang macho aja gitu. Hehe.

Aku gak langsung menuju kelas, masih ada waktu 15 menit sebelum kelas dimulai, aku menunggu Arkha dulu di lobi kampus. Dia SMS sekitar 5 menit lagi dia sampe kampus. Dengan jam karet buatan asli Indonesia, Arkha sampe kampus 10 menit berikutnya. Raut mukanya biasa, berarti omongan Arian gak dimasukin ke hati olehnya.

"Yuk cabut." Ajak ku.

"Lo gak nungguin Gita, nyet?"

"Nanti juga ketemu dikelas."

"Bentar, kemaren ada yang kelupaan gue, duit gue mana?"

Sial. Arkha masih ingat uang taruhan harga diri. Aku merogoh dompet, dan menemukan 2 lembar sepuluh ribuan. Uangku berpindah tangan dengan cepat. Arkha tersenyum puas, cacing diperutku harap-harap cemas. Kami berjalan melalui koridor, lalu berpapasan dengan Radix yang juga mau masuk kekelas Mrs. Lidya. Arkha dan Radix ngobrol panjang lebar sambil ber-haha-hihi tentang tangan Ji yang memar akibat menepis tendangan keras Fajar. Aku lebih memilih menjadi pasif. Mood ku sedang gak enak hari ini. Dari semalam.

"Sekarang si Ji enggak masuk kuliah Dix? Hahahaha" Tanya Arkha.

"Iya, kemaren doi SMS katanya tangannya memar, terus dikompres gitu." 

"Lagian, tendangan keras gitu, Buffon juga males nepisnya."

"Bola itu tadinya mengarah ke gue, Kha. Tapi gue menghindar, jadi deh si Ji yang kena. Hahaha"

Ji, kiper utama tim kami gak masuk hari ini karna mendadak jadi stuntman pada latihan kemaren sore. Sebagai kapten tim aku jadi khawatir dengan keadaannya. Siapa sangka, pria blesteran Cina-Jawa yang mendadak melankolis waktu nonton drama Korea ini bisa jadi kiper utama tim kami. Keseharian Ji biasa banget. Kalo nongkrong di kostanku untuk tanding PS, dia memilih untuk tidur. Waktu diseleksi masuk tim sepak bola kampusku, Ji harus berdarah-darah menahan 100 shoot yang mengarah ke dia sebelum, dan sesudah latihan. Hal ini juga berlaku untuk Bagas. Kiper cadangan kami. Hanya saja badan Bagas jauh lebih kekar daripada Ji. Sayang gerakan Bagas kurang cepat.

"Yaudah nanti kita jenguk aja Ji kekostannya." Aku mencetuskan ide yang disambut anggukkan kepala oleh Arkha dan Radix.

Mrs. Lidya seharusnya diangkat menjadi Menteri Luar Negeri. Terbukti 1 jam mata kuliahnya, dia terus-menerus ngoceh dalam bahasa Inggris. Tidak ada sepatah dua patah kata Bahasa Indonesia yang keluar dari mulutnya. Dia pasti tidak mencintai Negeri sendiri. Setelah puas memborbardir telingaku dengan bahasa bule. Mrs. Lidya menyuruh para mahasiswa dan mahasiswi untuk mengeluarkan kertas selembar dan bersiap untuk kuis 1 jam berikutnya. 

Aku membuka binderku halaman demi halaman, dan tidak menemukan kertas kosong. Jangan salah sangka, isi binderku bukan catatan materi kuliah, melainkan gambar kostum sepak bola. Aku memang memiliki hobi mendesign kostum. Entah kostum Manchester United, maupun kostum untuk tim ku sendiri. Aku mungkin harus menjadi agak kemayu, agar cocok jadi designer hebat seperti Ivan Gunawan. Mataku memburu tempat duduk Anggita, dan berbicara pelan untuk meminta kertas. Mrs. Lidya mempunyai kuping sehebat kelelawar. Dia menunjuk kearahku. Dan meyuruhku untuk berbicara dengan bahasa bule. Ribet, aku hanya memninta kertas, tapi harus bercas-cis-cus terlebih dahulu. Aku tidak makan keju hari ini.

"Gita, i want you." kataku.

Gita mengerenyitkan matanya, dan coba menelaah apa maksud cas-cis-cus ku barusan. Mrs. Lidya pun geleng-geleng kepala. Aku mengangkat bahuku dengan mimik muka yang seolah berkata "apa salahku, Mrs. Lidya?"

"Gita, give that playboy a paper." Kata Mrs. Lidya.
"Oh! Here you go, playboy." Kata Gita sambil memberikan kertasnya kepadaku.

Kuis dimulai setelah seluruh kelas menertawakan kejadian selembar kertas. Pada ribet. Kuis kali ini simple, mahasiswa cuma menuliskan jawaban setelah soal di dikte oleh Mrs. Lidya. Aku sulit menerjemahkan kalimat-kalimat Mrs. Lidya. Kuis hari ini cuma 10 soal. Dan aku mengisi jawaban dengan penuh inisiatif. Aku tulis semua judul lagu Westlife yang aku ingat diatas selembar kertas yang bikin ribet tadi.

1. If i let you go.
2. My love.
3. Uptown girl.
4. Flying without wings.
5. Fragile heart.
6. Season in the sun.
7. What makes a man.
8. Fool again.
9. Soledad.
10. I have a dream.

Selesai.

Aku bahkan lebih dulu selesai menjawab ketika Mrs. Lidya baru membacakan 5 soal. Dan lebih hebatnya lagi, aku masih mampu menulis 10 judul lagu Westlife lainnya.

Arkha yang duduk disampingku, memandangku curiga. Aku balik menatapnya, dia memperlihatkan lembar jawabanya. Sama ngaconya! Dia menulis 10 judul lagu Bahasa Inggris juga, termasuk ada judul lagu Uncle John disana. Terima kasih Tuhan, aku tidak sendirian didunia ini.

Setelah Mrs. Lidya selesai membacakan 10 soal, kemudian dia menyuruh Fajar yang duduk dibangku paling belakang untuk mengumpulkan lembar jawaban sekelas. Fajar adalah mahasiswa terbaik di kelas Mrs. Lidya, bahasa Inggrisnya faseh, dan tidak kalah dengan balita bule. Aku bisa memprediksikan kalau kuis kali ini Fajarlah yang paling tinggi nilainya, itu mudah, semudah menebak siapa yang dapat score paling rendah.

Mrs. Lidya keluar ruangan kelas. Dan sekelas bersiap menerima mata kuliah Algoritma dari Bapak. Sutrisno. Anggita berjalan kemejaku, dia menghampiriku yang lagi asik menggambar kostum sepak bola dibinder.

"Gimana rasanya setelah ketemu sahabat lama, Dicka?" Anggita bertanya setengah jongkok, untuk mensejajarkan wajah ku.

"Ya gitu deh." Aku jawab seperlunya dengan mata yang masih tertuju pada kostum yang aku buat.

"Temen lo itu balik sekarang, nyet?" Arkha masuk kedalam obrolan ku dengan Gita.

"Iya, katanya sih. Udah ah, gue gak mau bahas dia." Aku merebahkan kepalaku diantara lipatan tanganku.

"Loh, kenapa emangnya? Kan kamu sudah lama gak ketemu Arian." Sambung Gita.

"Nanti aja aku ceritain, aku lagi malas, Gita."

"Iya Git, ceritanya panjang deh pokoknya." Samber Arkha.

"Oke deh, kapten. Aku ketoilet dulu yah." Kata Gita yang bangkit dari posisinya dan berjalan keluar kelas.

"Nitip cewek satu Git!" Teriak Arkha.

Gita menghentikan langkahnya sejenak sambil mengacungkan jari tengah kepada Arkha sambil tersenyum.

Pandangan mataku menatap keluar jendela, menatap gerimis diluar sana. Aku memejamkan mata sejenak. Aku kembali dalam ingatan dimana momen-momen terbaikku bersama Arian. Waktu masih sekolah kami berhasil menjadi juara 1 di Liga Siswa se-Jabodetabek.  Arian terpilih menjadi pemain terbaik, dan aku menjadi pemberi Assist terbanyak. Duetku dilini depan tim bersama Arian bisa membuat kiper lawan hidup segan mati tak mau.

"Dick, latihan hari ini kayaknya bisa batal deh karna ujan terus. Lagi juga pelatih jadinya berangkat jam 1 siang ini katanya naik travel, pengundian fase group dimajukan jadi jam 3 sore."  Seru Arkha, yang memecah lamunanku.

"Yaudah kita gak usah latian dulu hari ini, daripada nanti sakit, inget turnamen sebentar lagi." Aku mengambil keputusan.

Arkha langsung berinisiatif memberi tau seluruh tim sepak bola baik yang ada dikelasku, maupun dikelas lain. Kalau urusan bolos latihan, Arkha selalu terdepan.

Dibatalkannya latihan hari ini dikarenakan langit yang tak kunjung berhenti menangis, membuatku menjadwal ulang kegiatanku hari ini. Malas juga rasanya kalau cuma menghabiskan waktu tidur dikostan seharian. Dan yang paling penting, aku sedang tidak mau diganggu hari ini, mood ku sedang jelek. Aku harus pergi kesuatu tempat. Biar saja anak-anak The Radickal maen PS dikamarku. Aku sedang malas melayani permintaan bertanding mereka.

"Yaudah kamu kekostanku aja kalo mau." Usul Gita setelah aku menceritakan sebab mood ku jelek hari ini. "Lagi juga aku baru tau kalau kamu orang yang moody-an, hehe." Lanjut Gita.

"Yaudah aku kasih konci kamarku dulu ke Arkha, aku yakin The Radickal nginep hari ini sambil maen PS sampai pagi, apalagi besok gak ada jadwal kuliah."

Pak Sutrisno gak masuk lagi, dan ini sudah minggu kedua dia alpha sebagai dosen, kalau saja mahasiswa boleh memberikan nilai seperti halnya dosen memberikan nilai, maka Pak Sutrisno akan aku kasih nilai C, dan harus mengulang smester depan. Sesuai rencana awal, setelah pulang kuliah, aku, Arkha, Radix, Lucky, dan Gita menjenguk Ji terlebih dahulu. Aku jenguk hanya sekedar memastikan keadaannya saja, tangannya sudah tidak memar karna sudah dikompres dengan air hangat. Lusa, mungkin Ji sudah bisa ikut latihan lagi.

Dan sepertinya hari ini tidak ada jadwal main PS dikamar kostku, karna Arkha dan yang lain lebih memilih menetap dikamar Ji. Mereka ingin menemani Ji setelah Ji menawarkan 7 film DVD yang baru dia sewa, 3 diantaranya tetep.. Drama Korea. Nonton DVD adalah metode subtistusi untuk para pria kangen cinta seperti kami. Tapi aku tidak begitu merasaknnya, karna ada Gita, TTKP ku saat ini. (Teman Tapi Kayak Pacar) Aku dan Gita pamit pulang duluan setelah mereka habis-habisan meledekku dengan kalimat "bulan madu"

Aku dan Gita migrasi ketempat kostku, tidak jadi kekostan Gita. Lagipula Gita lebih suka berlama-lama dikostanku dengan nuansa MU hampir disetiap jengkal dinding kamarku.

"Kamu tau, aku sangat suka tidur dkasurmu ini, Dicka." Kata Gita sambil membanting badannya yang lelah kekasurku.

"Kenapa memangnya? Karna poster logo MU yang ada dilangit-langit itu?" Kataku sambil memberikan handuk kearah Gita.

"Iya, mungkin, tapi disini jauh lebih nyaman daripada kamarku." Kata Gita sambil mengeringkan rambutnya yang setengah lepek dengan handuk.

"Kamu mau teh manis hangat?"

"Boleh."

Aku buatkan teh manis hangat untuk tuan ratu dikamarku hari ini. Sementara Gita seperti biasa, membaca majalah Inside United yang dia belikan untukku kemarin. 2 menit kemudian aku kembali ke Gita, aku berikan dia teh manis. Aku duduk dilantai sambil menyender kekasur sambil menikmati teh manis milikku sendiri.

"Kamu masih suntuk, Dicka?" Tanya Gita sambil menyeruput teh manisnya dengan hati-hati menggunakan bibirnya yang tipis.

"Sedikit, sih." Aku melanjutkan menikmati teh manis hangat milikku.

Keadaan kembali hening, suara hujan mengalahkan segalanya sore ini.

"Boleh aku pinjam kostum kamu, Dicka?"

"Untuk apa?"

"Aku mau memakainya, lagipula bad mood kamu bikin kamu jadi tidak peka hari ini."

"Maksudmu tidak peka?"

"Apa kamu tega membiarkan aku memakai kaos yang basah kuyup seperti ini?"

Aku melihat kearah Gita, benar saja, kaosnya memang lepek, cuma karna hari ini dia memakai kaos berwarna hitam, aku kurang menyadarinya. Aku baru sadar ketika memperhatikan kaosnya menjadi lebih ketat dan bentuk tubuhnya lebih "nyata."

"Kenapa harus kaos tim ku? Aku punya banyak kaos MU kesukaanmu, kesukaan kita, Gita."

"Aku maunya kaos yang biasa kamu pakai untuk bertanding. Titik!"

Aku mengangkat bahuku, lalu mengambilkan kaos berwarna putih bernomor punggung 4 dengan bertuliskan nama Dickataros dipundaknya. Nama Dickataros adalah pemberian Gita, dia menambahkan kata "Taros" cuma karna dia suka drama Jepang. Bagus bukan, aku merasa sedang berada di Jepang saat bersama Gita, dan di Korea saat bersama Ji. Aku bisa keluar negeri tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun.

Gita mengambil kaosku, dan pergi kekamar mandi, oiya, dia juga tidak lupa meminjam salah satu boxerku. Jeans dia juga lepek. Hujan memandikan kami berdua sepanjang jalan sore ini. Aku kembali menikmati hujan. dan kembali memikirkan Arian, aku merebahkan tubuhku diatas kasurku.

Harusnya malam itu jadi malam yang hebat untuk dua sahabat yang sedang bernostalgia, seperti mengobrol semalam suntuk, atau bertanding PS. Entah kenapa situasi menjadi tegang. Arian memaksaku untuk mencapai Final, sementara aku sendiri belom tau, apa timku ataupun tim Arian bisa mencapai Final. Jika bisa, itu akan jadi ajang pembuktian dariku. Akan aku buktikan, aku tak lagi menjadi bayang-bayang Arian. Aku akan buktikan semua hasil latihanku selama ini pada Arian. Arian bukan cyborg sepak bola, dia pasti bisa kukalahkan. Seperti hari ini Gita mengalahkanku. Dia keluar dari kamar mandi dengan memakai kaos bola punyaku yang panjangnya sepaha dia. Boxerku yang pendek menjadikan dia tampak terlihat tanpa memakai celana pendek. Dan menjadikan dia 2, tidak, ratusan kali lebih sexy.

Gita mengangkat bahunya, mimik mukanya seolah berkata "ada yang salah dengan penampilanku?" Aku menggelengkan kepala sambil berkata "nothing" Belum hilang rasa tegangku melihat Gita hari ini, dia malahan merebahkan kepalanya diatas dadaku. Aku diam tanpa 1 gerakkan apapun. Karna aku takut salah dalam menindak lanjuti gesture tubuh Gita.

Dengan perlahan aku bertanya kepada Gita. "Melihat tingkahmu selama ini, kenapa kita tidak meresmikan hubungan ini, Gita?"

"Kamu nembak aku dengan pistol yang tidak berpeluru. Walaupun kamu kapten tim, tapi kamu masih nothing dimataku, Dicka."

"Apa maksudmu pistol yang tidak berpeluru, kamu terlalu ambigu, Gita."

Gita mengangkat kepalanya dan melihat kearahku. "Jadilah juara 1 diturnamen nanti, dan tembak aku lagi."

"Kamu ingin menjadikan piala sebagai peluru pada pistolku?"

Gita mengangguk, lalu tersenyum. Lalu merebahkan kembali kepalanya didadaku.

10 menit kemudian Gita tertidur pulas sambil memeluk tubuhku. Aku biarkan dia terlarut dalam belaian tanganku pada rambutnya yang mulai mengering. Setelah Arian, ada satu orang lagi yang menaruh harapan besar dipundakku pada turnamen nanti. Akan kukalahkan Arian, dan memenangkan hatimu, Anggita.

-bersambung-




 

My Blog List

Recent Posts

Recent Comments